tempat sementara untuk menuliskan kejadian yang berlangsung sementara dan dalam kita hidup di dunia yang sementara ini..

Selasa, 29 Desember 2009

tulisan kelima

yap, sampailah kita pada tulisan kelima. tulisan ini lagi-lagi muncul dari sebuah dorongan untuk mengikuti perlombaan dari salah satu elemen kampus, Aksara (aktualisasi seni dan sastra-eh, gitu kan ya kepanjangannya?? :). Waktu itu, saya tertarik dengan kondisi kampus STAN. Sebagai mahasiswa tingkat tiga, paling tidak saya sudah dua tahun hidup bersama kampus tercinta. Terlalu banyak kenangan di sana. Saat ada pengumuman mengenai perlombaan menulis cerpen, saya terpikir, mungkin saatnya menuliskan bagaimana pemikiran saya tentang kampus ini.
Seingat saya, perlombaan ini diadakan bulan Desember. Saat itu panitia mengajukan beberapa persyaratan untuk mengikuti perlombaan. Dasar saya, kalau membaca pengumuman belum sampai tuntas sudah dilaksanakan. Akibatnya, setelah setengah jalan saya menulis kemudian memperhatikan lagi pengumuman yang ada, ternyata ada satu poin yang mewajibkan untuk judul cerpen yang dibuat menggunakan salah satu warna yang ada, supaya matching dengan tema saat itu: Desember Ceria!!
Akhirnya saya membuat judul baru untuk setengah tulisan saya. Tetapi setelah dipikir-pikir, saya tidak uah membuang judul sebelumnya, karena memang sudah sangat cocok. Toh dalam karya-karya umum biasanya ada juga yang menggunakan judul double.
Alhamdulillah saat pengumuman hasil lomba, saya mendapatkan apresiasi yang tidak mengecewakan dari teman-teman.. tapi tidak seperti lomba sebelumny, kali ini musti dengan predikat: pelari ke atas.. hehehe, ada baiknya, supaya kita terus mengejar siapa-siapa saja yang ada di atas kita, dalam hal kebaikan tentunya.
Okay, happy talking!!

GELAP ITU BUKAN HITAM

(HAMPIR SEBUAH METAFORA)

Aku sudah capek untuk berpikir. Hampir tiap detik aku berpikir. Tentang semua hal. Tentang kaumku, tingkah laku para Gemst, Dean, apapun. Sampai bagaimana aku berpikir. Entah, mungkin ini anugerah dari Tuhan. Pikirku, Tuhan menciptakan sesuatu yang ada dalam kepalaku –aku lupa namanya- untuk berpikir. Banyak yang punya itu, akan tetapi tidak sedikit yang sering tidak menggunakannya. Pun begitu di kaumku, hanya sedikit yang bisa menggunakannya, eh, atau tidak punya barangkali.

Aku terusir dari mereka. Mungkin karena aku sering tak sependapat dengan mereka. Saat aku berumur satu tahun-yang mereka pikir aku sudah cukup umur-mereka paksakan aku untuk kawin dengan adikku. Dengan adikku yang kucintai karena dia adalah adikku! Tidak punya otak barangkali! Eh, iya.. nama itu yang ada di kepala adalah otak, para Gemst sering menyebutnya. Terang saja aku menolak. Aku kumpulkan kaumku yang hidup disini, berjumlah 10 kepala mungkin (aku sering protes kepada para Gemst, kaumku hanya bisa dikenali dari kepala, bukan dari ekor. Sayang, mereka tidak mendengarkanku). Aku jelaskan kepada mereka bahwa mengawini sesama saudara akan menghancurkan kaum kita. Ini disebabkan “itu” –lagi-lagi aku lupa namanya- yang membawa sifat kita. Kalau kita kawin dengan saudara kandung kita “itu” kita akan rusak! Cukup sudah si Mbeng yang invalid, kakinya panjang satu. Atau si Embik yang berkaki enam. Aku tudak mau!! Aku berlari meninggalkan kelompokku.

Semenjak itulah aku dianggap menyimpang, berorientasi negatif, sampai ketua mengeluarkan fatwa aku haram bagi kaumku.

Ah, andai saja mereka tahu...

***

Aku masih terpekur di sebuah tempat duduk taman di samping gedung kuliah sambil mengunyah sisa-sisa makananku tadi pagi. Aku jadi berpikir, bodoh juga aku. Mengapa makanan yang sudah kutelan aku muntahkan lagi untuk dikunyah. Tapi aku merasa bukan aku kalau tidak melakukannya.

Disinilah tempat favoritku, dari sinilah aku mendapat ilmu dari para Gemst. Dari jendela gedung terlihat Dean yang sedang memberikan ilmunya kepada para Memst, sebutan khusus bagi Gemst yang terpelajar. Aku sering belajar dari mereka. Makanya aku tahu bahwa yang namanya dunia itu bukan hanya Kampst. Kampst hanyalah sebagian kecil dari daerah yang lebih besar, yang sebagian kecil lagi dari daerah yang lebih besar lagi, sampai menjadi yang lebih besar lagi. Begitu seterusnya. Sampai aku tahu bahwa kita hidup di bola raksasa, bumi namanya.

Aku sering berpikir mengenai Memst di sekelilingku. Mereka adalah kalangan terpelajar Gemst, kaum intelektual. Kaum yang katanya agen pembawa perubahan. Kaum yang seharusnya ada disini untuk belajar. Belajar apapun. Ibarat mercon, kaum ini semestinya menjadi bubuk mesiunya. Sebagai hululedak untuk meluluhlantakkan selubung sistem klastik yang sangat kokoh supaya hancur berkeping-keping dan kita menjadi bebas. Bebas untuk menjadi makhluk yang sejati. Yang tidak akan menggerogoti negeri. Tapi sepertinya mercon tidak akan meledak apabila tidak ada sumbunya. Sumbu yang bisa menyalurkan bara ke mesiu untuk menghancurkan selubung. Para Dean kupikir. Mereka yang seharusnya menyalurkan bara ilmu kepada Memst dan merekalah yang semestinya membawa perubahan kepada Memst. Ah, apa jadinya jika sumbu putus di tengah jalan, pasti tidak meledaklah mercon itu. Apa jadinya jika sumbu yang seharusnya menghantarkan bara itu malah berkeliat kesana-kemari, memberi bara tidak sepenuh hati, bisa mblebes mercon itu. Dan, oh, yang paling penting adalah bara itu. Ya, bara yang menjadi pemicu terjadinya ledakkan. Bara yang benar-benar bara. Jangan sampai sunbu terlalu kecil, sedangkan bara berkobar-kobar. Jangan sampai.

Sebentar, mesiu-sumbu-bara akan menghancurkan selubung. Akan tetapi, bara tidak akan ada apabila tidak ada orang yang menyalakannya. Tapi siapa gerangan yang menyalakannya? Anak kecil mungkin? Atau orang dewasa? Atau orang tua? Hmm, siapapun orang itu mestinya ia harus tahu bagaimana cara membuat mercon dan menyalakannya. Tidak asal buat! Tidak hanya menyediakan mesiu, tapi sembarang menaruhnya. Ditaruh di tempat yang tidak semestinya, tempat yang tidak sesuai dengan kondisi mesiu. Bisa-bisa mesiu keburu hangus sebelum dibuat mercon.. Ya, mesiu harus di tempatkan di wadah yang sesuai, wadah yang nyaman untuk mesiu. Begitu juga dengan sumbu. Mesti yang sesuai dengan mesiu yang ada. Janganlah ia terlalu kecil sehingga bara susah mencapai mesiu. Kalau saja mercon tidak meledak atau mblebes tentunya sebuah kesia-siaan membuat mercon.

Ah, kalau saja mereka tahu...

***

Aku merasa tiap hari ada yang aneh dalam diriku. Ada sesuatu yang bergerak-gerak di kepala ini. Setiap hal kini terasa jelas bagiku. Aku berpikir, setiap hal yang terjadi di dunia ini pasti ada penyebabnya. Sebab yang membuat hal tidak boleh kita lihat sebagai suatu hal yang utuh berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan hal lain. Sebab yang menyebabkan Demitol, teman satu kandangku, harus terjun dari lantai 2 gedung kuliah itu. Saat itu aku mengira dia sudah tidak waras lagi. Sudah kehilangan kesadarannya, karena mendengar Haji Kosim akan menyembelihnya besok pagi. Pikirku, dia membayangkan dirinya diseret menuju liang penyembelihan, dikuliti seluruh tubuhnya, dicincang kecil tiap bagian tubuhnya, dan akhirnya keratan-keratan dagingnya terhidang di meja makan. Tapi ternyata aku salah. Belakangan aku tahu penyebab terbunuhnya temanku bukan karena dia bunuh diri. Bukan karena dia takut dagingnya akan dicincang dan dimakan oleh Gemst (kami berprinsip, merupakan sebuah kemuliaan bagi kaum kami untuk menyambung hidup para Gemst). Tapi karena sebab yang alamiah. Tak lebih karena kami adalah hewan, yang pasti akan mencari jalan keluar sesuai dengan nalarnya. Tanpa tahu ternyata jalan keluar itu adalah jendela yang berada pada jarak 8 meter di atas permukaan tanah. Tidak sulit bagiku untuk menyimpulkan apa yang akan terjadi dengan diriku jika terjatuh dari tempat itu. Sungguh kematian yang dramatis.

***

Begitulah, setiap waktu berjalan pasti akan terjadi perubahan. Pasti, tidak mungkin tidak. Dan yang membuatku heran –terutama di kaumku- setiap orang pasti cenderung untuk menolak perubahan. Benar, semakin lama seseorang menetap pada suatu kondisi semakin sulit ia berubah. Maka dari itu, kupikir, alangkah baiknya kalau aku tidak terus-menerus tinggal disini. Hanya dalam lingkungan seperti ini yang mengucilkan diriku. Aku ingin berpetualang, ingin lebih mencari hakikat hidup.

Ingin kuajak serta beberapa dari temanku untuk mencoba hal-hal baru diluar sini. Ingin kutunjukkan kepada mereka indahnya dunia luar. Dunia yang penuh dengan kebebasan, yang membuat kita terus berkembang baik fisik maupun mental. Dunia yang sering Memst ceritakan.

Kadang aku berpikir, perbedaan antara kaumku disini dengan kaumku yang hidup bebas di padang savannah layaknya seperti teman kecilku, jangkrik. Jangkrik yang hidup di alam bebas pasti punya lompatan yang jauh lebih jauh daripada jangkrik kandangan yang dipelihara oleh para Gemst. Tapi bagaimana supaya jangkrik kandangan bisa punya lompatan yang lebih jauh? Dengan berlatih kupikir. Oh, atau dengan memperluas kandang jangkrik supaya dia punya tempat yang cukup untuk berlatih. Tapi sialnya, kandang itu terlalu kokoh. Jangankan diperluas, digeserpun sangat susah.

Seperti itulah kaumku disini. Hampir tidak ada kesempatan bagiku dan kaumku untuk keluar dari pengawasan Haji Kosim. Yah, walaupun beliau berhak sepenuhnya atas diri kami, tapi kami ingin berkembang. Kami ingin punya kualitas. Bukankah jika kualitas kami tinggi akan lebih berguna bagi para Gemst?

Ah, andai saja mereka-teman-temanku dan Haji Kosim- tahu...

***

Pagi ini begitu suram, tidak tampak seperti pagi-pagi biasanya. Langit yang sedikit mendung menambah suasana semakin suram. Aku, bersama 3 orang sejenisku, terikat di sebaris tiang bambu. Di samping kami terdapat liang kecil yang baru saja dibuat, lengkap dengan batang pisang di ujungnya. Sepertinya aku tidak asing lagi dengan apa yang aku lihat. Otakku memutar kembali rekaman-rekaman kejadian 3 minggu lalu. Masih tergambar jelas, onggokan bangkai teman-temanku yang digantung dengan posisi terbalik -kaki di atas, kepala di bawah. Perlahan kulit mereka disayati sedikit demi sedikit sampai benar-benar mengelupas semuanya. Ah.. aku tidak sanggup lagi mengingatnya. Ya, waktu itu Haji Kosim melakukan eksekusi di dekat kandang kami. Sebuah tindakan yang kurang hewani pikirku.

Hari ini Haji Kosim memerlukan daging-daging kami untuk santapan para tamu dalam rangka khitanan Udin, anaknya. Walaupun merasa takut, kami telah merelakan semua ini terjadi. Kembali kepada hukum-Nya, bahwa kami adalah penyambung hidup para Gemst. Sebagai salah satu unsur yang membentuk bagian tubuh mereka, merupakan sebuah kemuliaan bagi kami ketika kami menjadi “bahan bakar” Gemst yang berbuat kebenaran di bumi ini. Walau kami sudah tiada, apa yang telah kami berikan kepada mereka sudah cukup mewakili kami. Akan tetapi, kepada para Gemst yang telah menyalahgunakan daging kami, tentunya merupakan hal yang sangat menyakitkan. Ah, bukannya tubuh ini mau mereka apakan, kami sudah tidak bisa lagi melihatnya.

Tiga temanku sudah mengejan-ejan, meronta-ronta tak berdaya. Embikan terakhir mereka sangat memilukan hati bagi siapa saja yang mendengarnya. Bukan, bagi kaumku maksudku. Tak lama kemudian tubuhku sudah direbahkan di tanah dengan dua Gemst yang memegangiku. Aku tak seperti teman-temanku yang meronta-ronta sebelum eksekusi. Aku pasrah begitu saja. Buat apa susah payah meronta, toh nantinya mati juga, pikirku. Lintasan-lintasan memori kehidupanku mulai berputar. Tentang bagaimana diriku yang ditolak oleh kaumku, tentang Gemst yang telah memberikan pelajaran bagiku, Memst, Dean, Demitol dan cita-citaku untuk berpetualang. Semua telah berlalu. Keinginanku untuk merubah keadaan disekelilingku dan keinginanku untuk memberikan yang terbaik bagi negeri tidak pernah terwujud. Harusnya aku sadar dari awal. Aku hanyalah hewan yang suka mengembik. Aku hanya diberi kelebihan oleh-Nya berupa otak yang lebih besar dari otak kaumku. Aku hanya hewan yang cuma bisa merangkak, memamah dan merumput. Aku bukanlah apa-apa. Aku bukan Memst yang bisa melakukan apa yang kupikirkan. Ah, seandainya dari awal aku mengerti..

Logam dingin sudah menyentuh leherku. Semakin dalam semakin dingin kurasa. Aku merasa geli, sesuatu yang cair mengalir melalui tepi leherku agak sedikit ke bagian bawah leher sampai mengucur ke liang tanah. Aku merasa diriku dihentak-hentakan ke atas dan ke bawah. Mataku mulai berkunang-kunang, napasku sengal dan seluruh badanku kesemutan. Aku sudah tidak kuat lagi. Entah, semuanya menjadi kosong, aku tidak ingat apa-apa lagi. Perlahan-lahan mataku terpejam. Aku pasrah. Sekelilingku terlihat berpendar. Sekarang mataku terpejam, kegelapan mulai menyelimutiku. Semuanya berubah menjadi putih. Putih yang semakin lama semakin menyilaukan. Gelap yang terang.

****

didedikasikan kepada : zahwa_fatiha

Notes:

Gemst: Manusia

Mercon: petasan

Mblebes: petasan yang tidak meledak karena lembab

Memst: Mahasiswa

Dean: Pengajar

Kampst: Kampus


tulisan keempat

Mengapa saya menulis tulisan ini? lagi-lagi didasari dari keinginan saya untuk membuat kritik terhadap keadaan sekitar. Saat itu, saya sedang bermain ke kosan teman, kebetulan di kamarnya ada teman dari teman saya yang sedang mencoba membuat artikel untuk dikirimkan ke Media Center. Meminta tanggapan dari artikel yang sedang dia tulis. Sekilas saya membaca artikel tersebut, dan menurut pendapat saya terdapat banyak kritikan kepada salah satu lembaga eksekutif di kampus saya waktu itu. Mungkin dia mempunyai maksud lain, akan tetapi kiranya saya perlu untuk menyampaikan apa yang ada di pemikiran saya waktu itu mengenai bagaimana sebuah tulisan mempunyai maksu-maksud yang terkandung, baik tersurat maupun tersirat di belakangnya.
Tulisan ini sudah saya berikan kepada teman saya di Media Center (kali ini ga usah sebut merek ya, Goi..:p ).. akan tetapi entah lupa atau tulisan saya tercecer dimana..tidak ada tindak lanjut mengenainya..
Yah, lagi2 artikel supermini.. :)

EKSTRINSIKALITAS KARYA MANUSIA

Budi dan Susi sedang asyik membicarakan, lebih tepatnya berdiskusi, tentang sebuah artikel di Koran yang mengangkat topik mengenai perbedaan gender dalam pemerintahan. Keduanya saling berpendapat dan saling mempertahankan argumennya masing-masing (mungkin ini terjadi karena masing-masing sudah terlanjur berargumen ini dan itu, gengsi kalau menerima argumen orang lain). Perdebatan pun akhirnya terjadi, karena masing-masing terlalu kokoh dengan pendapatnya sendiri.

-----

Sebuah karya sastra atau tulisan dalam suatu media cetak mempunyai unsur-unsur pembentuknya. Selain unsur intrinsik –yang terdiri dari alur/plot, amanat, gaya bahasa, latar/setting, perwatakan- sebuah karya dipengaruhi oleh unsur ekstrinsik yaitu unsur-unsur yang berpengaruh terhadap karya sastra di luar penyusunan karya tersebut. Diantaranya; kondisi politik pada saat itu, latar belakang budaya penulis, atau alasan/tujuan penulis menulis karya tersebut.

Dalam perjalanannya, setelah melewati beberapa masa atau tahapan waktu, suatu karya boleh jadi menjadi tidak bermakna karena apa yang dimaksudkan dalam karya tersebut tidak dapat dimengerti oleh pembaca. Sebagai contoh, potongan kalimat “….kita harus mengencangkan ikat pinggang”. Jika hal ini dibaca oleh anak cucu kita nanti bisa terjadi pergeseran konteks makna. Pada masa ini –dilihat dari situasi politik dan ekonomi- bermakna agar kita lebih sigap dan siap dalam menghadapi kondisi yang terburuk. Berbeda jika dibaca setelah lewat sekian waktu. Membutuhkan penjelasan tentang latar belakangnya.

Sejalan dengan itu, setiap tulisan yang dimuat dalam suatu media sudah semestinya kita perhatikan unsur-unsur apa yang melatarbelakanginya. Dalam pembahasan ini, penulis batasi pada tulisan/ artikel media cetak, yang selanjutnya kita sebut saja karya. Hal ini penting, karena salah satu senjata politik yang paling ampuh adalah publisitas media. Tak jarang banyak pemimpin di dunia ini yang jatuh atau mengundurkan diri gara-gara kritik media (kecuali di Indonesia mungkin). Di lain pihak, karya bisa menjadi counterbalance bagi kebijakan-kebijakan yang menyimpang atau suara-suara minor yang menyesakkan. Tergantung tujuannya..

Seringkali, suatu karya bisa menjadi acuan yang mengubah pola pikir pembacanya. Sehingga timbullah anggapan bahwa hal yang dimaksud oleh penulis karya itu benar atau salah sepenuhnya. Tentunya tidak bermasalah jika karya tersebut merujuk kepada hal yang murni kebaikan atau manfaat. Yang menjadi masalah, tatkala karya tersebut memang tidak sepenuhnya benar dan merupakan pandangan subjektif terhadap suatu hal. Karya-karya seperti itulah yang semestinya diperhatikan apa tujuan penulisannya. Lagi-lagi, tergantung tujuannya.

Motivator eksistensial

Dalam berkarya, seseorang mempunyai motivasi tersendiri yang mendorong ia berkarya. Motivasi-motivasi itu, menurut hemat penulis, antara lain; pertama, keinginan pribadi untuk mengkritisi keadaan sosial yang ada. Protes sosial biasa disebut untuk motivator ini, karena pada dasarnya, manusia mempunyai sifat berontak (rebell). Untuk motivator ini, penulis karya murni sepenuhnya ingin menanggapi suatu kondisi yang tidak sesuai dengan pemikirannya atau mengapresiasi suatu keadaan. Publisitas identitas biasanya dinomorduakan. Yang penting, “saya sudah mengutarakan persepsi saya terhadap hal itu”. Kedua, dorongan untuk menunjukkan bahwa diri kita ada (eksis). Motivator seperti inilah yang kerap terjadi. Publisitas identitas menjadi hal yang utama. Penulis karya, utamanya, menginginkan dirinya dikenal khalayak ramai dengan sedikit mengesampingkan esensi dari karyanya. Bagaimana dengan yang di tengah-tengah?? Ya, terkadang ada juga penulis karya yang tujuan utamanya menulis karya untuk menyampaikan pandangannya terhadap suatu keadaan, tetapi juga menginginkan publisitas. Itu sah-sah saja, selama karya mereka bisa dipertamggumgjawabkan. Suatu karya bisa menjadi pemecah masalah atau pembuat masalah dan bisa juga keduanya. Sekali lagi, tergantung tujuannya..

Kebebasan berkarya vs pembatasan (atau keterbatasan??) media

Negara kita sudah mengakomodasi kebebasan bersuara maupun berpendapat bagi masyarakatnya. Ini dibuktikan dengan memasukkannya ke dalam batang tubuh UUD 1945. Kebebasan bersuara dan atau berpendapat disini termasuk di dalamnya kebebasan untuk berkarya (lagi-lagi saya tekankan, karya yang dimaksud disini adalah tulisan-tulisan atau artikel pada media cetak). Kebebasan berkarya tentunya mempunyai batasan-batasan dimana tidak boleh bertentangan dengan agama dan hal-hal normatif lainnya. Disinilah peran media cetak (yang memuat karya tersebut) untuk menyaring setiap karya yang masuk kepadanya. Sejatinya, sebuah karya yang dimuat dalam suatu media secara tidak langsung telah membebankan tanggung-jawabnya kepada media. Tatkala karya tersebut kontroversial atau memberi dampak negatif terhadap lingkungan sekitar, sudah sepantasnya media yang memuatnya turut serta bertanggungjawab. Inilah posisi media.

Suatu media cetak, menurut hemat penulis, sah-sah saja jika membuat perubahan sedikit pada suatu karya asalkan tidak mengubah esensinya. Sebagai contoh, pemakaian bahasa atau istilah yang perlu diperjelas, atau kata-kata yang menurut orang kebanyakan kurang etis untuk dipakai. Tentunya, dalam melakukan perubahan terhadap karya tersebut benar-benar diperhatikan. Sebagai contoh, kesalahan penulisan judul karya atau petikan wawancara yang tidak dituliskan secara komprehensif akan berpengaruh terhadap makna karya. Terkadang narasumber geram, karena pernyataannya hanya dilansir sebagian saja dan penyajian yang sebagian itu akan bermakna sumir apabila tidak disajikan secara lengkap. Faktor kesalahan manusia (human error) mungkin bisa terjadi di sini. Akan tetapi, semestinya hal itu bisa dihindari dengan peningkatan pengawasan dan keprofesionalan media. Semua ini dimaksudkan agar jargon kebebasan bersuara tidak bertentangan dengan batasan-batasan normatif / aturan-aturan media. Sehingga tidak timbul persangkaan; tergantung pada tujuannya, tujuan penulis karya atau media itu sendiri.

------

Agaknya dalam membaca suatu karya kita harus mengerti atau paling tidak tahu apa tujuan dari penulisan karya tersebut. Karya apapun, tak terkecuali tulisan ini.

Disinilah diperlukan pembaca yang cerdas yang tidak hanya begitu saja menganggap tulisan-tulisan dalam media cetak benar atau salah sepenuhnya. Tergantung tujuannya. Hal ini diperlukan sehingga Budi dan Susi bisa saling mengerti posisi mereka masing-masing. (/zhw)


tulisan ketiga

Tulisan ini saya buat tentang beberapa permasalahan di kampus STAN pada saat itu, yang pertama adalah kasus pen-DO-an beberapa teman saya yang dikarenakan oleh salah satu dosen di kampus kami. Akan tetapi, setelah diajukan banding kepada pihak kampus, teman2 kami dinyatakan lulus dan tidak perlu mengulang tahun berikutnya. Entah ada apa dibalik itu.. Kedua, saat itu gencar-gencarnya perang urat saraf antar lembaga institusi di kampus STAN. Yang kebetulan saya ingat adalah antara Media Center dengan lembaga Eksekutif mahasiswa. yang ternyata, diramaikan oleh pihak-pihak lain yang kalau saya cermati terdiri dari banyak latar belakang dan kepentingan..
Atas bantuan teman saya di media center, Vigor Arya (Setjend Depkeu), tulisan supermini ini dimuat di Koran Civitas.
Salah satu reaksi teman saya yang kebetulan main ke kosan, Muliya namanya (DJBC Semarang).
Saya,"Eh, ada tulisan menarik nih.." sambil menunjuk pada atikel supermini yang saya bikin.
Muliya (yang saya terjemahkan dengan bahasa saya sendiri), "Ah, tulisannya kurang komunikatif.. Pake istilah-istilah yang tidak umum lagi.. tujuannya ga sampai nih.."
*hehe_ kurang lebihnya gitu yak,Mul? :D

Yap, sepeti yang sudah saya utarakan sebelumnya, maksud suatu tulisan bisa jadi dipahami oleh semua pihak, akan tetapi, ada beberapa bagian yang hanya penulis saja dan pihak2 tertentu yang dapat menangkapnya.

berikut artikel supermininya.. kali ini ga pake happy reading ah..


DEMIRAKULISASI*

Pada saat kita melihat suatu pertunjukkan sulap secara langsung ataupun melalui suatu media, timbul decak kagum diantara kita. Sehingga, dengan serta merta –walaupun tidak semuanya- berucap; “Ajaib!”, “Kok bisa?!”, “Magnificent!”, “Gila!!” dan ungkapan keheranan lainnya. Akan tetapi, jika pada kesempatan lain sang pesulap membeberkan trik sulapnya, hal yang tadinya menurut kita ajaib, sudah menjadi hal yang biasa saja.

Dalam kehidupan ini, terkadang suatu hal yang menurut pandangan orang lain biasa saja menjadi hal yang aneh, tak biasanya, tidak bisa dijelaskan dengan nalar kita. Hal ini bergantung pada seberapa jauh pengetahuan kita terhadap hal tersebut. Proses “penelanjangan” sesuatu yang aneh, ajaib, belum bisa dimengerti disini yang dimaksud penulis adalah pencaritahuan akan hal-hal atau sebab-sebab pada umumnya. Bukanlah “penelanjangan” miraculum (mukjizat), mengenai suatu keimanan yang merupakan hal yang sangat sensitif bila kita bicarakan.

Sebuah contoh sederhana ketika hasil usaha kita selama satu semester telah dinilai dengan angka-angka. Timbul beberapa komentar; “Hah, 3,86?! Makan apa tu anak?!” atau ketika, yang sangat disayangkan, beberapa nama teman kita tidak tercantum dalam daftar mahasiswa yang dinyatakan lulus; “Kok bisa?! Ah, tidak mungkin! Dia pintar kok..” terlebih, ketika diumumkan alasan yang menyebabkannya tidak lulus. Sungguh menjadi hal yang mengherankan (bagi saya). Maka, tanpa bermaksud sok tahu, muncullah kesimpulan; Terjadi kesalahan dalam mekanisme penilaian. Untuk menepis hal tersebut, membutuhkan proses penjelasan tentang latar belakangnya.

^^x

Sangat disayangkan sebenarnya, ketika dalam proses pencarian ini justeru menimbulkan perbedaan pandangan yang menjurus kepada perpecahan (Ach,, bahasa apa sih yang lebih halus..) hal ini terjadi kala suatu pihak merasa lebih dari yang lainnya sehingga apa tujuan utama yang diusung bersama menjadi kabur.

Terkadang dalam suatu sistem, proses pengawasan terjadi secara bertingkat. Sebagai contoh; murid diawasi oleh wali kelas, wali kelas diawasi oleh kepala sekolah, kepala sekolah diawasi oleh komite sekolah dan seterusnya sampai hierarkhi teratas. Yang menjadi masalah disini adalah, menyitir kata-kata dalam Satir karya Juvenal ‘Siapa yang mengawasi sang pengawas’. Hal ini tentunya harus diperhatikan, mengingat banyak pihak yang mengaku sebagai ‘watchdog’ dengan dalih pengawasan dan kebebasan menyatakan kehendak justru kebablasan dalam melakukannya. Tak heran jika pihak yang diawasi malah mencoba mengambil alih si pengawas. Dalam pameo politik reformasi yang lalu pernah muncul; mahasiswa takut pada dosen, dosen takut pada dekan, dekan takut pada rektor, rektor takut pada presiden, presiden takut pada mahasiswa. Logika siklik ini tentunya tidak berlaku pada keadaan normal, terlebih, apa yang dimaksud mahasiswa disini mengalami disfungsi peran.

Berbicara mengenai peran (apalagi kalau ditambah akhiran –an) mahasiswa menjadi sebuah polemik yang tidak berkesudahan. Saat ada mahasiswa yang mengajak atau memberitahu tentang suatu hal yang normatif dilain pihak sekelompok mahasiswa menertawakannya. Pastinya dengan beberapa pertimbangan dan sedikit pembenaran. Ini baru tentang hal yang sepele tentang pemakaian suatu jenis pakaian. Pun kala kita dihadapkan pada pandangan mengenai sikap mahasiswa yang kurang reaktif terhadap keadaan sekitar, timbul sejuta pendapat tentang itu. Menjadi hal yang berlarut-larut dibahas dari pertama mengenal lingkungan ini sampai sekarang. Tapi, bukannya basi, hal tersebut justru memicu munculnya berbagai benih-benih wajah baru dari yang berlatar “Agak Sosialis” sampai tandingan (baca:oposisi) sebuah entitas eksekutif. Entah bermaksud menampung mahasiswa yang kurang reaktif menjadi agak sedikit reaktif atau memberikan alternatif pilihan terhadap monotonnya keadaan sekitar, mereka sedikit lebih baik daripada segelintir orang yang membahas panjang lebar tentang kelemahan-kelemahan pihak lain dengan memasukkan isu mengapa seseorang bisa tidak reaktif terhadap lingkungan sekitar tanpa mau mendiskusikan dengan pihak yang bersangkutan untuk mencari jalan keluar bersama (Ups, jangan-jangan saya termasuk di dalamnya=).

Mungkin, terlihat klise. Akan tetapi kembali ke bagian depan, tergantung sejauh mana kita memahami hal ini. Disinilah proses untuk mencari sebuah kebenaran, bukan sebuah pembenaran.



* Istilah ini dipakai oleh Dhesi Ramadhani dalam pengantar buku Dinasti Yesus