tempat sementara untuk menuliskan kejadian yang berlangsung sementara dan dalam kita hidup di dunia yang sementara ini..

Rabu, 30 Desember 2009

tulisan keenam

Tulisan ini saya buat setelah saya menyelesaikan studi saya di kampus STAN. Settingnya adalah, ketika saya magang di KPP Patama Cilacap (kiye setting cerita apa setting pas nulis kiyee?? :D).
Saat itu, saya sering berinteraksi dengan lawan jenis yang mempunyai umur (atau jenjang pendidikan, atau tingkat pemikiran) di atas saya. Entah mengapa, selalu ada ketertarikan terhadapnya. Mungkin tepatnya kekaguman, ketika kita belum bisa berbuat seperti apa yang sudah teman kita perbuat, apalagi wanita. Munculnya kekaguman inilah yang menyebabkan perasaan yang lain. Bukan berarti cinta, karena pada dasarnya hanya rasa suka terhadap objek yang mereka hasilkan. tapi bukan suka biasa, suka yang hanya "like" atas pemikiran-pemikiran atau cara berkomunikasi dengan mereka.
Dan saat merenung (inilah sebenarnya yang membuat saya bisa menulis), muncul kata terlintas dalam pikiran saya: Virga. sempat sedikit beradu argumen mengenai arti dari kata ini dengan teman-teman saya.. kalau dalam kamus Oxford (kamuse ketinggalan nang umah kiyee..) kurang lebih artinya adalah "hujan yang tidak sampai ke bumi, yang butiran-butirannya menggantung di lanit yang menyebabkan sebuah pelangi di langit. biasanya terjadi di daerah panas dan kering, seperti California" penjelasan kedua adalah "streak in the heaven" yang dalam google translate kurang lebih artinya lapisan di langit..

VIRGA

Adalah cinta, yang datang tanpa kendali kita, yang imanen dalam harapan, yang membuat manusia tak ingin statis..

Itulah yang kurasakan sekarang. Perasaan yang membuncah dalam hati ini, yang ingin segera pecah untuk diungkapkan kepada seseorang, Virga. Paras yang sesuai namanya, bagaikan kilatan cahaya dalam surga. Wanita mandiri, cerdas dan berwibawa. Pernyataan bahwa: kebanyakan wanita cantik di negeri ini berotak ayam, karena mereka hanya memikirkan kecantikannya telah gugur dengan premis: Virga adalah wanita yang berparas jelita dengan otak yang luar biasa! Dengan tambahan; anggun dan elegan..

Aku pertama mengenalnya sewaktu mengikuti kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi awal semester dua ini. Seorang dosen muda yang enerjik, menjelaskna dengan semangat tentang teori permintaan-penawaran.

”jadi kalau permintaan naik, bagaimana pengaruhnya dengan harga, Nat?”, ia menunjukku yang waktu itu duduk paling depan pada baris kedua.

”....”

Aku hanya terdiam. Memang sedari tadi aku hanya memperhatikan gerak bibir dan lakunya. Kata-kata yang keluar dari bibirnya seperti alunan musik yang baru pertama kali kita dengar. Kau pasti tau Kawan, sangat enak didengar, tapi kalau kita disuruh menyanyikannya kembali pastilah kita tidak bisa. Dan hasilnyapun aku tidak bisa menjawab pertanyaan termudah di semester ini. Ah, biarlah teman-teman menertawakanku. Paling tidak, aku mendapatkan kebahagiaan karena telah disapa oleh dinda bestariku. Disekelilingku seakan-akan bunga seribu rupa berhamburan, mewangi, merekah dan menyejukkan... oh, indahnya...

^_^

Aku bukanlah seorang perasa yang baik. Maksudku, seorang yang bisa memahami sesuatu dengan perasaan atau orang yang bisa mengerti perasaan. Karena, menurut hematku, setiap masalah pasti dipecahkan dengan menggunakan logika yang berasal dari otak kita. Akan tetapi, semenjak aku mengenal rasa yang memberikan sensasi bunga mekar disekelilingku, kusempatkan untuk mengganti topik diskusiku dengan teman-teman.

”Coba jelaskan kepadaku apa itu cinta?”, tanyaku pada kesempatan waktu sore hari di taman kampus.

Teman filsafatku menjawab,”Cinta adalah suatu rasa yang abstrak yang dirasakan oleh mereka yang mencinta, sebagai akibat dari perbuatan ingin memiliki dan suka terhadap suatu objek”.

Ah, mbulet..pikirku

”Yang kutanyakan, jadi apa definisi cinta itu?apa parameternya? Standarnya apa sampai kita bisa berucap; itu cinta?”

”jadi gini, karena rasa ini abstrak, variasi yang ditimbulkan antara satu orang dengan orang lain pastilah tidak sama. Akan tetapi, bagi mereka yang merasa jatuh cinta pasti merasakan hal yang sama yaitu rasa suka yang membuncah dalam hati, rasa yang ingin memiliki.”, teman sastraku-yang sok tau- menimpali.

Aku belum merasa puas. ”Contoh nyata orang yang merasa jatuh cinta ada yang rela memberikan apa saja bagi orang yang dicintainya. Ada juga yang menganggap cinta adalah making love, atau ada yang beranggapan cinta itu suci yang mesti dijaga kesuciannya. Jadi apa point-nya?”

Aku sering mengikuti diskusi-diskusi ilmiah, jadi harus kupastikan ada satu poin yang pasti dari obrolan kali ini.

”Semua yang kausebutkan tadi adalah akibat dari rasa suka atau kagum terhadap objek. Rasa itulah yang membuatmu melakukan suatu tindakan yang menyebabkan akiibat-akibat yang kau sebutkan tadi..ck..ck..ck”, makin sok saja teman sastra berkacamata ini.

”Tetap saja. Aku tidak bisa menangkap substansi dari cinta. Apa itu cinta sebenarnya dalam definisi kata.”

obrolan sore itu tidak berbuah kesepakatan. Karena memang sedari awal aku sudah menduga bahwa cinta mempunyai banyak sekali arti sehingga aku tidak menemukan substansi. Ah, cinta...

^_^

Sebenarnya ingin sekali kuungkapkan rasa hati ini kepada Virga. Semakin cepat aku ungkapkan semakin baik untuk diriku. Daripada aku tersiksa dengan ketidakpastian ini. Aku tidak membutuhkan jawaban. Yang kuinginkan hanyalah menyatakan apa yang ada dalam hatiku ini. Itu saja, tidak kurang tidak lebih. Inilah ujian cinta sebenarnya menurutku. Menyatakan isi hati dan rasa suka ini kepada orang yang disukai. Bukan untuk mengharapkan jawaban iya, tidak juga untuk mendapat jawaban tidak. Ah, susah sekali rasanya.. Intinya, aku ingin mengungkapkan rasaku padanya. Sudah itu, habislah. Biarlah nanti waktu yang menjawabnya.

Semakin lama rasa ini kupendam semakin rasa ini membuncah dalam hatiku dan akhirnya pecah menjadi bulir-bulir yang terus sesaki aku. Hukum kepuasan yang semakin berkurang nampaknya tidak berlaku untuk rasa ini. Hukum yang menyatakan semakin benda untuk memenuhi keinginan kita lama-kelamaan kepuasan kita akan benda tersebut semakin berkurang. Lihatlah orang yang haus, ketika kita beri seteguk-dua teguk ait, tentunya memberikan kepuasan yang sangat kepadanya. Akan tetapi, setelah 4 gelas tentunya ia akan merasa muak dengan air itu. Tapi rasaku akan cinta ini semakin lama justru semakin menjadi. Rasa-rasanya aku tidak merasa puas jika hanya memandang wajahnya atau bercakap dengannya di sesi diskusi tambahan. Aku ingin menuntaskannya dengan menyatakan sesungguhnya apa yang kurasa. Tak peduli status dia sebagai dosen dan aku sebagai mahasiswa. Tak peduli dengan perbedaan umur kami. Dan tak peduli jika akhir-akhir ini ia menggandeng seorang anak perempuan berumur 2 tahunan.

Kelimunan ini aku hiraukan, hanya diri yang berkelindan sepi terdiam memagut mimpi. Adakah kau mengerti, sengkarut ini yang terus menyiksa hati...

^_^

Mungkin kau bertanya, Kawan, mengapa aku mencintai Virga. Selalu ada penjelasan untuk suatu hal di sunia ini. Terkadang suatu akibat timbul dari sebab-sebab yang mana sebab itu juga timbul dari suatu akinat sebelumnya, terus begitu, tanpa akhir. Rasa kagumku terhadap wanita mandiri dan berpikiran dewasa telah terpupuk sedari remaja. Sayangnya, sikap mandiri dan pemikiran yang matang biasanya ada pada wanita yang sudah mempunyai umur di atasku. Itulah sebabnya mengapa aku lebih suka kepada wanita yang mempunyai umur di atasku. Tua memang pasti, tapi dewasa adalah pilihan, kata suatu iklan. Tapi sejauh ini yang kutemui; wanita dewasa adalah wanita yang sudah berumur..

Suatu ketika aku menanyakan kecenderunganku ini kepada teman psikologiku.

”Bagaimana pendapatmu tentang kecenderungan orang yang menyukai lawan jenisnya dengan usia yang lebih tua?”

Dia menjawab,”Menurutku, untuk wanita yang menyukai lelaki dengan usia di atasnya adalah hal yang wajar. Karena, pada dasarnya wanita lebih cepat tumbuh dewasa dibandingkan dengan laki-laki”

”Bagaimana jika sebaliknya?”, aku menimpali.

”Maksudmu, lelaki yang menyukai wanita dengan usia di atasnya? Yah, memang ada kecenderungan yang seperti itu, oedipus complex namanya. Biasanya terbentuk karena si lelaki merindukan kasih sayang dan cinta seorang ibu. Tapi kasihan juga si lelaki nantinya. Ketika dia masih mempunyai kekuatan, istrinya sudah bersiap untuk beristirahat bagai bunga yang mengeriput dan layu..hahaha..”

Dasar calon psikolog sinting, pikirku.

dia melanjutkan, ”kecintaan terhadap wanita dengan usia di atas biasanya terjadi karena rasa kagum. Rasa kagum tersebut lama-lama berubah menjadi rasa suka yang bermetamorfosis menjadi cinta. Eh, Nat. Jangan-jangan kau yang mengalaminya?? Hahahaha....”

aku tidak mempedulikan gurauannya-atau pernyataan tentang kenyataan-, dan pergi begitu saja.

Setelah kupikir, benar juga pendapatnya. Rasa yang timbul saai ini berawal dari rasa kagumku terhadap Virga. Rasa kagum terhadap kecerdasannya dan parasnya tentunya. Tapi tetap, kecerdasannya...yang didukung oleh kecantikan paras juga.... Rasa kagum yang berubah menjadi rasa suka untuk memperhatikannya,. Rasa antusias jika bertanya atau berdiskusi dengannya. Rasa gemetar jika menerima boardmarker untuk mengerjakan soal di muka kelas. Dan hamburan bunga seribu rupa yang mewangi, merekah dan menyejukkan jika dia menunjukku.. oh, indahnya...

^_^

Pikiranku terganggu akhir-akhir ini dengan kehadiran perempuan kecil disampingnya. Siapakah dia sebenarnya? Putinyakah? Atau keponakan yang dititipkan kepadanya? Terkadang dia membawa perempuan kecil itu ikut mengajar di kelasnya. Terlihat lucu, memeluk pinggang Virga jika Ia berdiri dan bilang; ”Ma, Nai pingin pipis ma...”

Hah?! Mama??!! Aku langsung tersentak. Perempuan kecil tadi memanggil Virga Mama, berarti dia anaknya dan dengan begitu Virga telah bersuami? Oh, Tuhan.. Seketika itu juga aku merasa duduk sendiri di ruang kelas yang kosong dan sunyi. Senyap yang hanya kudengar. Dan tiba-tiba sebuah balok kayu sebesar ukuran tangan manusia menghantam tanganku, membuyarkan kesunyian ini..

”Heh, ngelamun saja!!”, Anto yang duduk di sampingku menninju lenganku.

Sial.....

Begitu sesi kuliah selesai aku menuju perpustakaan untuk mendapatkan akses internet. Langsung kutuju, kuketikkan alamat situs kampus ini, mengklik Fakultas Ekonomi dan mengklik link Dosen dan Staf Pengajar. Muncul satu deret entry nama yang memenuhi layar. Aku tekan Ctrl+F dan masukkan keyword: Virga. Bingo!! Aku klik link ke informasi personalnya.

Nama : Virga Veranita

Tempat, Tanggal Lahir : Surakarta, 16 September 1984

Mata kuliah : Pengantar ilmu Ekonomi, Akuntansi Keuangan Menengah,

Auditing

.....

.....

Status Perkawinan : Kawin

Sudah cukup sampai di situ, ketika aku kembali merasakan kehampaan. Sekelilingku terasa sunyi sekali. Komputer-komputer dan rak-rak buku berubah menjadi batu besar yang membisu. Orang-orang yang berlalu lalang laksana pepohonan hitam yang menambah suram suasana padang savanna. Sampai terakhir kuingat ada ular berukuran sebesar tangan manusia hinggap di bahuku. ”Mas, gantian komputernya....”

Kadang harapan tidak selamanya sesuai dengan kenyataan. Walaupun ayahku sering bilang kalau harapan adalah awal dari mimpi, dan mimpilah yang membimbing kita untuk mewujudkannya. Aku kehilangan kendali atas diriku. Paska kejadian aku mengerti status perkawinan Virga, aku merasa tidak bersemangat. Entah kenapa aku merasa tidak rela. Aku belum sempat mengutarakan isi hatiku padanya. Belum sempat mengetahui bagaimana reaksinya terhadapku. Wajahku muram, hatiku kelam dan pakaikanku kumal. Dalam kesempatan obrolan dengan teman-temanku berikutnya mereka mencoba membaca pikiranku.

”Nat, apa yang terjadi denganmu?”, teman filssafatku, yang memang baik, mencoba memecah kemurunganku.

Sebenarnya enggan bagiku untuk menceritakannya. Lagian, aku bukanlah orang yang sabar untuk mendengarkan orang lain bercerita. Kali ini justru akulah yang akan bercerita untuk mengungkapkan apa yang mengganjal hatiku. Aku mengerang.

Aku mulai dengan pertanyaan,”Kenapa cinta disebut indah jika ia pada akhirnya hanya meninggalkan luka?”

Teman sastraku-yang sok tau- menjawab,”Cinta itu fase relatif yang absolut, Nat..” sial, dia mencoba memakai bahasa teknis..”Relatif, karena kamu dan kita akan merasakan perasaan yang berbeda-beda mengenainya dan menghadapi kondisi serta akibat yang berbeda-beda. Absolut, karena pasti cinta itu akan datang kepada kita semua. Tak peduli apa rupa, bentuk, sebab dan akibatnya nantinya.. Dengan begitu..sensasi yang..”

”Cukup-cukup..” Aku sudah mengerti akan dibawa kemana penjelasannya. Tak jauh-jauh dari penjelasannya pekan kemarin.

”Jadi yang mana yang kaualami?”, teman filsafatku bertanya.

”Aku mencintai wanita yang telah bersuami...”, jawabku lirih.

Wadefak....”, teman sastraku mengumpat pelan. Kata yang tidak ada artinya di kamus manapun, tapi pelafalannya cukup jelas untuk menjelaskan ucapan umpatan yang berasal dari bahasa Inggris.

”Yah, aku tahu itu konyol. Tapi ini benar-benar menimpaku. Seperti yang telah kaujelaskan mengenai definisi cinta. Aku serasa limbung karenanya”, aku melanjutkan.

Teman psikologiku bertanya,”Terus apa yang akan kaulakukan? Ternyata benar ya, dugaanku kau mengidap kecenderungan itu?”, kecenderungan yang ia jelaskan waktu aku bertanya tentang rasa suka terhadap orang yang diatas umurku, maksudnya.

”Aku akan tetap mengungkapkan rasaku padanya. Meskipun ia telah bersuami. Aku tak peduli apa jawabannya, dan tak peduli apa reaksinya. Aku hanya ingin mengunggapkannya. Itu saja”,jawabku.

”Terkesan platonik. Ya, cinta platonik..”, tukas teman sastraku-yang sok tau. Aku mengerang. Apa lagi ini...

”cinta yang tidak mempedulikan tujuan. Cinta yang...yah, hanya suka sama suka. Tanpa perlu pusing dengan konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.Ah, terlihat sangat apriori..masa bodoh..”

”Bukan itu yang kmaksud!!”, aku menyergah. ”Kalaupun dia belum terikat oleh perkawinan seperti sekarang ini, tentunya aku akan berani untuk membuat suatu komitmen. Asal kau tahu saja, aku hanya ingin terbebas dari rasa ini”

”Baiklah, jadi sekarang, sarsanku, silahkan kau ungkapkan rasa itu. Secara psikologis hatimu akan lega meskipun kau sudah secara nyata mengetahuin apa hasilnya. Paling tidak, kau tidak menyesal karena memendam rasa itu”, teman psikologiku memberi saran.

”Ngomong-ngomong, siapa yang kaucintai?”

”Virga...”, jawabku pelan.

Ketiga temanku mengumpat pelan dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

^_^

Pada akhirnya kubulatkan tekadku menemui Virga untuk mengatakan padanya isi hatiku. Aku sudah siap dengan segala konsekuensi yang terjadi. Sudah siap jika aku ditegur dengan keras, diadukan ke rektorat karena perbuatan kurang ajar terhadap pengajar atau tidak diluluskan dalam mata kuliahnya. Aku mencoba memahami sepenuhnya bahwa cinta tidak selamanya harus memiliki secara fisik. Karena pada dasarnya, ia hanyalah kata abstrak, sehingga tidak satupun manusia dapat merasakan hal yang sama. Tapi aku masih yakin kalau cinta bukanlah kata benda, melainkan kata kerja, yang harus dilakukan, bukan untuk dimengerti. Aku mencoba kembali memakai logikaku yang akhir-akhir ini kusampigkan karena terlalu menggunakan perasaan. Kupikirkan kembali semua kejadian ini ditinjau dari pemikiran normalku. Tapi cinta tidak pernah mengenal logika. Ah, benar saja...

Akupun larut dalam hujan sore ini. Murung dalam mendung yang temaram..

Hatiku meluruh bersama hujan..

Melarung hanyut bersama alirnya air..

Masih terngiang dalam benakku, bulir-bulir rasa bahagia, senyuman tentang harapan, dan harapan tentang masa depan...

^_^

Aku sudah menentukan saat terbaik untuk menemui Virga. Ya, hanya saat ia keluar dari ruang dosen setelah selesai mengajar hari ini. Ruang dosen yang berada pada ujung koridor. Cukup tersembunyi untuk dilihat oleh makhluk-makhluk lain yang tidak berkepentingan. Tinggal sekarang, apa yang harus kuungkapkan? Ah, biarlah nanti setelah aku bertemu dengannya..

Jantungku berdetak beberapa hentakan lebih keras dari biasanya. Pintu ruangan dosen terbuka sedari tadi. Aku terus memandanginya. Tak lama kemudian sesosok perempuan paling cantik di negeriku Indonesia melangkah keluar dari ruangan. Suara berdetak yang timbul dari hentakan sepatu pantovel-nya yang membentur lantai keramik membuat jantungku semakin berdegup lebih kencang. Aku memaku. Ia terlihat muram, berjalan dengan pandangan menyusur ke bawah. Sampai jaraknya cukup dekat denganku, aku menyapanya.

”VI..Virga, bisakah kita bicara sebentar?”, aku memang sudah terbiasa menghilangkan embel-embel Bu atau Dosen di depan namanya. Itu karena kehendaknya sendiri sewaktu sesi diskusi tambahan sering kami laksankan. Dan memang, dia dan aku kerap berdiskusi lebih sering dari siapapun.

”Ya, Nat? Apakah ini tentang kuliah?”, ia menghentikan langkahnya dan merapat ke samping tempatku berdiri. Aku ragu sebentar, kemudian kutegakkan kepalaku untuk menatapnya.

”Eh..yah..mungkin ini kedengarannya konyol. Emm,, dari pertama kali aku mengenalmu aku merasakan hal yang aneh.. Emm,,aku kagum terhadapmu”, wajahku tersipu.

”maksudmu, Nat? Ayolah, tidak biasanya kau begini..”

”Aku mencintaimu Virga..”

seketika itu juga terdapat kebisuan yang cukup lama. Aku tertunduk. Sedangkan Virga hanya termangu. Bibirnya terkatup sedang matanya menatapku prihatin.

”Natan..”, ujarnya lirih, ”kau tidak salah mempunyai rasa cinta. Kau pun tidak salah jika mencintai..akan tetapi kau mencintai objek yang salah. Saat ini aku sudah bersuami dan kau tahu sudah ada Nai sebagai pengikat di antara kami. Meskipun aku tidak merasa bahagia sekarang. Sejujurnya, Nat..aku kagum pada dirimu dan tentunya aku akan sangat tersanjung apabila hal ini terjadi beberapa tahun lalu...”

”Maafkan aku, Nat..kondisiku yang tidak bisa menerimanya”

tak kusangka reaksi seperti ini yang kuperoleh darinya. Sungguh wanita yang mempesona. Aku tetap membisu.

”Nat, cinta bak kurva elastisitas sempurna. Dia akan berdiri kokoh pada satu titik berapapun rasa itu menggelegak. Seringkali membuncah dalam hati, tapi tak jarang hancur berkeping-keping. Itulah cinta, Nat. Kuharap, kau bisa menemukan pijakan yang tepat”, Virga bergegas melangkag meninggalkanku yang tetap terdiam dan tertunduk lesu. Kudengarkan detak langkah kepergiannya sampai ia berbelok di seberang koridor sampai tinggal kesunyian yang menemaniku.

Akupun kini sedikit lebih memahami sebuah kata yang mahadahsyat, cinta. Virga mungkin bukan takdirku. Seperti namanya, ia bagai hujan yang menguap di awan, tidak sempat untuk jatuh ke bumi. Meninggalkan guratan-guratan indah di angkasa, tetapi meninggalkan bumi yang kering.. sekering jiwaku.

Adalah mimpi, yang datang tanpa kendali kita, yang imanen dalam harapan, yang membuat manusia tak ingin statis..


Selasa, 29 Desember 2009

tulisan kelima

yap, sampailah kita pada tulisan kelima. tulisan ini lagi-lagi muncul dari sebuah dorongan untuk mengikuti perlombaan dari salah satu elemen kampus, Aksara (aktualisasi seni dan sastra-eh, gitu kan ya kepanjangannya?? :). Waktu itu, saya tertarik dengan kondisi kampus STAN. Sebagai mahasiswa tingkat tiga, paling tidak saya sudah dua tahun hidup bersama kampus tercinta. Terlalu banyak kenangan di sana. Saat ada pengumuman mengenai perlombaan menulis cerpen, saya terpikir, mungkin saatnya menuliskan bagaimana pemikiran saya tentang kampus ini.
Seingat saya, perlombaan ini diadakan bulan Desember. Saat itu panitia mengajukan beberapa persyaratan untuk mengikuti perlombaan. Dasar saya, kalau membaca pengumuman belum sampai tuntas sudah dilaksanakan. Akibatnya, setelah setengah jalan saya menulis kemudian memperhatikan lagi pengumuman yang ada, ternyata ada satu poin yang mewajibkan untuk judul cerpen yang dibuat menggunakan salah satu warna yang ada, supaya matching dengan tema saat itu: Desember Ceria!!
Akhirnya saya membuat judul baru untuk setengah tulisan saya. Tetapi setelah dipikir-pikir, saya tidak uah membuang judul sebelumnya, karena memang sudah sangat cocok. Toh dalam karya-karya umum biasanya ada juga yang menggunakan judul double.
Alhamdulillah saat pengumuman hasil lomba, saya mendapatkan apresiasi yang tidak mengecewakan dari teman-teman.. tapi tidak seperti lomba sebelumny, kali ini musti dengan predikat: pelari ke atas.. hehehe, ada baiknya, supaya kita terus mengejar siapa-siapa saja yang ada di atas kita, dalam hal kebaikan tentunya.
Okay, happy talking!!

GELAP ITU BUKAN HITAM

(HAMPIR SEBUAH METAFORA)

Aku sudah capek untuk berpikir. Hampir tiap detik aku berpikir. Tentang semua hal. Tentang kaumku, tingkah laku para Gemst, Dean, apapun. Sampai bagaimana aku berpikir. Entah, mungkin ini anugerah dari Tuhan. Pikirku, Tuhan menciptakan sesuatu yang ada dalam kepalaku –aku lupa namanya- untuk berpikir. Banyak yang punya itu, akan tetapi tidak sedikit yang sering tidak menggunakannya. Pun begitu di kaumku, hanya sedikit yang bisa menggunakannya, eh, atau tidak punya barangkali.

Aku terusir dari mereka. Mungkin karena aku sering tak sependapat dengan mereka. Saat aku berumur satu tahun-yang mereka pikir aku sudah cukup umur-mereka paksakan aku untuk kawin dengan adikku. Dengan adikku yang kucintai karena dia adalah adikku! Tidak punya otak barangkali! Eh, iya.. nama itu yang ada di kepala adalah otak, para Gemst sering menyebutnya. Terang saja aku menolak. Aku kumpulkan kaumku yang hidup disini, berjumlah 10 kepala mungkin (aku sering protes kepada para Gemst, kaumku hanya bisa dikenali dari kepala, bukan dari ekor. Sayang, mereka tidak mendengarkanku). Aku jelaskan kepada mereka bahwa mengawini sesama saudara akan menghancurkan kaum kita. Ini disebabkan “itu” –lagi-lagi aku lupa namanya- yang membawa sifat kita. Kalau kita kawin dengan saudara kandung kita “itu” kita akan rusak! Cukup sudah si Mbeng yang invalid, kakinya panjang satu. Atau si Embik yang berkaki enam. Aku tudak mau!! Aku berlari meninggalkan kelompokku.

Semenjak itulah aku dianggap menyimpang, berorientasi negatif, sampai ketua mengeluarkan fatwa aku haram bagi kaumku.

Ah, andai saja mereka tahu...

***

Aku masih terpekur di sebuah tempat duduk taman di samping gedung kuliah sambil mengunyah sisa-sisa makananku tadi pagi. Aku jadi berpikir, bodoh juga aku. Mengapa makanan yang sudah kutelan aku muntahkan lagi untuk dikunyah. Tapi aku merasa bukan aku kalau tidak melakukannya.

Disinilah tempat favoritku, dari sinilah aku mendapat ilmu dari para Gemst. Dari jendela gedung terlihat Dean yang sedang memberikan ilmunya kepada para Memst, sebutan khusus bagi Gemst yang terpelajar. Aku sering belajar dari mereka. Makanya aku tahu bahwa yang namanya dunia itu bukan hanya Kampst. Kampst hanyalah sebagian kecil dari daerah yang lebih besar, yang sebagian kecil lagi dari daerah yang lebih besar lagi, sampai menjadi yang lebih besar lagi. Begitu seterusnya. Sampai aku tahu bahwa kita hidup di bola raksasa, bumi namanya.

Aku sering berpikir mengenai Memst di sekelilingku. Mereka adalah kalangan terpelajar Gemst, kaum intelektual. Kaum yang katanya agen pembawa perubahan. Kaum yang seharusnya ada disini untuk belajar. Belajar apapun. Ibarat mercon, kaum ini semestinya menjadi bubuk mesiunya. Sebagai hululedak untuk meluluhlantakkan selubung sistem klastik yang sangat kokoh supaya hancur berkeping-keping dan kita menjadi bebas. Bebas untuk menjadi makhluk yang sejati. Yang tidak akan menggerogoti negeri. Tapi sepertinya mercon tidak akan meledak apabila tidak ada sumbunya. Sumbu yang bisa menyalurkan bara ke mesiu untuk menghancurkan selubung. Para Dean kupikir. Mereka yang seharusnya menyalurkan bara ilmu kepada Memst dan merekalah yang semestinya membawa perubahan kepada Memst. Ah, apa jadinya jika sumbu putus di tengah jalan, pasti tidak meledaklah mercon itu. Apa jadinya jika sumbu yang seharusnya menghantarkan bara itu malah berkeliat kesana-kemari, memberi bara tidak sepenuh hati, bisa mblebes mercon itu. Dan, oh, yang paling penting adalah bara itu. Ya, bara yang menjadi pemicu terjadinya ledakkan. Bara yang benar-benar bara. Jangan sampai sunbu terlalu kecil, sedangkan bara berkobar-kobar. Jangan sampai.

Sebentar, mesiu-sumbu-bara akan menghancurkan selubung. Akan tetapi, bara tidak akan ada apabila tidak ada orang yang menyalakannya. Tapi siapa gerangan yang menyalakannya? Anak kecil mungkin? Atau orang dewasa? Atau orang tua? Hmm, siapapun orang itu mestinya ia harus tahu bagaimana cara membuat mercon dan menyalakannya. Tidak asal buat! Tidak hanya menyediakan mesiu, tapi sembarang menaruhnya. Ditaruh di tempat yang tidak semestinya, tempat yang tidak sesuai dengan kondisi mesiu. Bisa-bisa mesiu keburu hangus sebelum dibuat mercon.. Ya, mesiu harus di tempatkan di wadah yang sesuai, wadah yang nyaman untuk mesiu. Begitu juga dengan sumbu. Mesti yang sesuai dengan mesiu yang ada. Janganlah ia terlalu kecil sehingga bara susah mencapai mesiu. Kalau saja mercon tidak meledak atau mblebes tentunya sebuah kesia-siaan membuat mercon.

Ah, kalau saja mereka tahu...

***

Aku merasa tiap hari ada yang aneh dalam diriku. Ada sesuatu yang bergerak-gerak di kepala ini. Setiap hal kini terasa jelas bagiku. Aku berpikir, setiap hal yang terjadi di dunia ini pasti ada penyebabnya. Sebab yang membuat hal tidak boleh kita lihat sebagai suatu hal yang utuh berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan hal lain. Sebab yang menyebabkan Demitol, teman satu kandangku, harus terjun dari lantai 2 gedung kuliah itu. Saat itu aku mengira dia sudah tidak waras lagi. Sudah kehilangan kesadarannya, karena mendengar Haji Kosim akan menyembelihnya besok pagi. Pikirku, dia membayangkan dirinya diseret menuju liang penyembelihan, dikuliti seluruh tubuhnya, dicincang kecil tiap bagian tubuhnya, dan akhirnya keratan-keratan dagingnya terhidang di meja makan. Tapi ternyata aku salah. Belakangan aku tahu penyebab terbunuhnya temanku bukan karena dia bunuh diri. Bukan karena dia takut dagingnya akan dicincang dan dimakan oleh Gemst (kami berprinsip, merupakan sebuah kemuliaan bagi kaum kami untuk menyambung hidup para Gemst). Tapi karena sebab yang alamiah. Tak lebih karena kami adalah hewan, yang pasti akan mencari jalan keluar sesuai dengan nalarnya. Tanpa tahu ternyata jalan keluar itu adalah jendela yang berada pada jarak 8 meter di atas permukaan tanah. Tidak sulit bagiku untuk menyimpulkan apa yang akan terjadi dengan diriku jika terjatuh dari tempat itu. Sungguh kematian yang dramatis.

***

Begitulah, setiap waktu berjalan pasti akan terjadi perubahan. Pasti, tidak mungkin tidak. Dan yang membuatku heran –terutama di kaumku- setiap orang pasti cenderung untuk menolak perubahan. Benar, semakin lama seseorang menetap pada suatu kondisi semakin sulit ia berubah. Maka dari itu, kupikir, alangkah baiknya kalau aku tidak terus-menerus tinggal disini. Hanya dalam lingkungan seperti ini yang mengucilkan diriku. Aku ingin berpetualang, ingin lebih mencari hakikat hidup.

Ingin kuajak serta beberapa dari temanku untuk mencoba hal-hal baru diluar sini. Ingin kutunjukkan kepada mereka indahnya dunia luar. Dunia yang penuh dengan kebebasan, yang membuat kita terus berkembang baik fisik maupun mental. Dunia yang sering Memst ceritakan.

Kadang aku berpikir, perbedaan antara kaumku disini dengan kaumku yang hidup bebas di padang savannah layaknya seperti teman kecilku, jangkrik. Jangkrik yang hidup di alam bebas pasti punya lompatan yang jauh lebih jauh daripada jangkrik kandangan yang dipelihara oleh para Gemst. Tapi bagaimana supaya jangkrik kandangan bisa punya lompatan yang lebih jauh? Dengan berlatih kupikir. Oh, atau dengan memperluas kandang jangkrik supaya dia punya tempat yang cukup untuk berlatih. Tapi sialnya, kandang itu terlalu kokoh. Jangankan diperluas, digeserpun sangat susah.

Seperti itulah kaumku disini. Hampir tidak ada kesempatan bagiku dan kaumku untuk keluar dari pengawasan Haji Kosim. Yah, walaupun beliau berhak sepenuhnya atas diri kami, tapi kami ingin berkembang. Kami ingin punya kualitas. Bukankah jika kualitas kami tinggi akan lebih berguna bagi para Gemst?

Ah, andai saja mereka-teman-temanku dan Haji Kosim- tahu...

***

Pagi ini begitu suram, tidak tampak seperti pagi-pagi biasanya. Langit yang sedikit mendung menambah suasana semakin suram. Aku, bersama 3 orang sejenisku, terikat di sebaris tiang bambu. Di samping kami terdapat liang kecil yang baru saja dibuat, lengkap dengan batang pisang di ujungnya. Sepertinya aku tidak asing lagi dengan apa yang aku lihat. Otakku memutar kembali rekaman-rekaman kejadian 3 minggu lalu. Masih tergambar jelas, onggokan bangkai teman-temanku yang digantung dengan posisi terbalik -kaki di atas, kepala di bawah. Perlahan kulit mereka disayati sedikit demi sedikit sampai benar-benar mengelupas semuanya. Ah.. aku tidak sanggup lagi mengingatnya. Ya, waktu itu Haji Kosim melakukan eksekusi di dekat kandang kami. Sebuah tindakan yang kurang hewani pikirku.

Hari ini Haji Kosim memerlukan daging-daging kami untuk santapan para tamu dalam rangka khitanan Udin, anaknya. Walaupun merasa takut, kami telah merelakan semua ini terjadi. Kembali kepada hukum-Nya, bahwa kami adalah penyambung hidup para Gemst. Sebagai salah satu unsur yang membentuk bagian tubuh mereka, merupakan sebuah kemuliaan bagi kami ketika kami menjadi “bahan bakar” Gemst yang berbuat kebenaran di bumi ini. Walau kami sudah tiada, apa yang telah kami berikan kepada mereka sudah cukup mewakili kami. Akan tetapi, kepada para Gemst yang telah menyalahgunakan daging kami, tentunya merupakan hal yang sangat menyakitkan. Ah, bukannya tubuh ini mau mereka apakan, kami sudah tidak bisa lagi melihatnya.

Tiga temanku sudah mengejan-ejan, meronta-ronta tak berdaya. Embikan terakhir mereka sangat memilukan hati bagi siapa saja yang mendengarnya. Bukan, bagi kaumku maksudku. Tak lama kemudian tubuhku sudah direbahkan di tanah dengan dua Gemst yang memegangiku. Aku tak seperti teman-temanku yang meronta-ronta sebelum eksekusi. Aku pasrah begitu saja. Buat apa susah payah meronta, toh nantinya mati juga, pikirku. Lintasan-lintasan memori kehidupanku mulai berputar. Tentang bagaimana diriku yang ditolak oleh kaumku, tentang Gemst yang telah memberikan pelajaran bagiku, Memst, Dean, Demitol dan cita-citaku untuk berpetualang. Semua telah berlalu. Keinginanku untuk merubah keadaan disekelilingku dan keinginanku untuk memberikan yang terbaik bagi negeri tidak pernah terwujud. Harusnya aku sadar dari awal. Aku hanyalah hewan yang suka mengembik. Aku hanya diberi kelebihan oleh-Nya berupa otak yang lebih besar dari otak kaumku. Aku hanya hewan yang cuma bisa merangkak, memamah dan merumput. Aku bukanlah apa-apa. Aku bukan Memst yang bisa melakukan apa yang kupikirkan. Ah, seandainya dari awal aku mengerti..

Logam dingin sudah menyentuh leherku. Semakin dalam semakin dingin kurasa. Aku merasa geli, sesuatu yang cair mengalir melalui tepi leherku agak sedikit ke bagian bawah leher sampai mengucur ke liang tanah. Aku merasa diriku dihentak-hentakan ke atas dan ke bawah. Mataku mulai berkunang-kunang, napasku sengal dan seluruh badanku kesemutan. Aku sudah tidak kuat lagi. Entah, semuanya menjadi kosong, aku tidak ingat apa-apa lagi. Perlahan-lahan mataku terpejam. Aku pasrah. Sekelilingku terlihat berpendar. Sekarang mataku terpejam, kegelapan mulai menyelimutiku. Semuanya berubah menjadi putih. Putih yang semakin lama semakin menyilaukan. Gelap yang terang.

****

didedikasikan kepada : zahwa_fatiha

Notes:

Gemst: Manusia

Mercon: petasan

Mblebes: petasan yang tidak meledak karena lembab

Memst: Mahasiswa

Dean: Pengajar

Kampst: Kampus


tulisan keempat

Mengapa saya menulis tulisan ini? lagi-lagi didasari dari keinginan saya untuk membuat kritik terhadap keadaan sekitar. Saat itu, saya sedang bermain ke kosan teman, kebetulan di kamarnya ada teman dari teman saya yang sedang mencoba membuat artikel untuk dikirimkan ke Media Center. Meminta tanggapan dari artikel yang sedang dia tulis. Sekilas saya membaca artikel tersebut, dan menurut pendapat saya terdapat banyak kritikan kepada salah satu lembaga eksekutif di kampus saya waktu itu. Mungkin dia mempunyai maksud lain, akan tetapi kiranya saya perlu untuk menyampaikan apa yang ada di pemikiran saya waktu itu mengenai bagaimana sebuah tulisan mempunyai maksu-maksud yang terkandung, baik tersurat maupun tersirat di belakangnya.
Tulisan ini sudah saya berikan kepada teman saya di Media Center (kali ini ga usah sebut merek ya, Goi..:p ).. akan tetapi entah lupa atau tulisan saya tercecer dimana..tidak ada tindak lanjut mengenainya..
Yah, lagi2 artikel supermini.. :)

EKSTRINSIKALITAS KARYA MANUSIA

Budi dan Susi sedang asyik membicarakan, lebih tepatnya berdiskusi, tentang sebuah artikel di Koran yang mengangkat topik mengenai perbedaan gender dalam pemerintahan. Keduanya saling berpendapat dan saling mempertahankan argumennya masing-masing (mungkin ini terjadi karena masing-masing sudah terlanjur berargumen ini dan itu, gengsi kalau menerima argumen orang lain). Perdebatan pun akhirnya terjadi, karena masing-masing terlalu kokoh dengan pendapatnya sendiri.

-----

Sebuah karya sastra atau tulisan dalam suatu media cetak mempunyai unsur-unsur pembentuknya. Selain unsur intrinsik –yang terdiri dari alur/plot, amanat, gaya bahasa, latar/setting, perwatakan- sebuah karya dipengaruhi oleh unsur ekstrinsik yaitu unsur-unsur yang berpengaruh terhadap karya sastra di luar penyusunan karya tersebut. Diantaranya; kondisi politik pada saat itu, latar belakang budaya penulis, atau alasan/tujuan penulis menulis karya tersebut.

Dalam perjalanannya, setelah melewati beberapa masa atau tahapan waktu, suatu karya boleh jadi menjadi tidak bermakna karena apa yang dimaksudkan dalam karya tersebut tidak dapat dimengerti oleh pembaca. Sebagai contoh, potongan kalimat “….kita harus mengencangkan ikat pinggang”. Jika hal ini dibaca oleh anak cucu kita nanti bisa terjadi pergeseran konteks makna. Pada masa ini –dilihat dari situasi politik dan ekonomi- bermakna agar kita lebih sigap dan siap dalam menghadapi kondisi yang terburuk. Berbeda jika dibaca setelah lewat sekian waktu. Membutuhkan penjelasan tentang latar belakangnya.

Sejalan dengan itu, setiap tulisan yang dimuat dalam suatu media sudah semestinya kita perhatikan unsur-unsur apa yang melatarbelakanginya. Dalam pembahasan ini, penulis batasi pada tulisan/ artikel media cetak, yang selanjutnya kita sebut saja karya. Hal ini penting, karena salah satu senjata politik yang paling ampuh adalah publisitas media. Tak jarang banyak pemimpin di dunia ini yang jatuh atau mengundurkan diri gara-gara kritik media (kecuali di Indonesia mungkin). Di lain pihak, karya bisa menjadi counterbalance bagi kebijakan-kebijakan yang menyimpang atau suara-suara minor yang menyesakkan. Tergantung tujuannya..

Seringkali, suatu karya bisa menjadi acuan yang mengubah pola pikir pembacanya. Sehingga timbullah anggapan bahwa hal yang dimaksud oleh penulis karya itu benar atau salah sepenuhnya. Tentunya tidak bermasalah jika karya tersebut merujuk kepada hal yang murni kebaikan atau manfaat. Yang menjadi masalah, tatkala karya tersebut memang tidak sepenuhnya benar dan merupakan pandangan subjektif terhadap suatu hal. Karya-karya seperti itulah yang semestinya diperhatikan apa tujuan penulisannya. Lagi-lagi, tergantung tujuannya.

Motivator eksistensial

Dalam berkarya, seseorang mempunyai motivasi tersendiri yang mendorong ia berkarya. Motivasi-motivasi itu, menurut hemat penulis, antara lain; pertama, keinginan pribadi untuk mengkritisi keadaan sosial yang ada. Protes sosial biasa disebut untuk motivator ini, karena pada dasarnya, manusia mempunyai sifat berontak (rebell). Untuk motivator ini, penulis karya murni sepenuhnya ingin menanggapi suatu kondisi yang tidak sesuai dengan pemikirannya atau mengapresiasi suatu keadaan. Publisitas identitas biasanya dinomorduakan. Yang penting, “saya sudah mengutarakan persepsi saya terhadap hal itu”. Kedua, dorongan untuk menunjukkan bahwa diri kita ada (eksis). Motivator seperti inilah yang kerap terjadi. Publisitas identitas menjadi hal yang utama. Penulis karya, utamanya, menginginkan dirinya dikenal khalayak ramai dengan sedikit mengesampingkan esensi dari karyanya. Bagaimana dengan yang di tengah-tengah?? Ya, terkadang ada juga penulis karya yang tujuan utamanya menulis karya untuk menyampaikan pandangannya terhadap suatu keadaan, tetapi juga menginginkan publisitas. Itu sah-sah saja, selama karya mereka bisa dipertamggumgjawabkan. Suatu karya bisa menjadi pemecah masalah atau pembuat masalah dan bisa juga keduanya. Sekali lagi, tergantung tujuannya..

Kebebasan berkarya vs pembatasan (atau keterbatasan??) media

Negara kita sudah mengakomodasi kebebasan bersuara maupun berpendapat bagi masyarakatnya. Ini dibuktikan dengan memasukkannya ke dalam batang tubuh UUD 1945. Kebebasan bersuara dan atau berpendapat disini termasuk di dalamnya kebebasan untuk berkarya (lagi-lagi saya tekankan, karya yang dimaksud disini adalah tulisan-tulisan atau artikel pada media cetak). Kebebasan berkarya tentunya mempunyai batasan-batasan dimana tidak boleh bertentangan dengan agama dan hal-hal normatif lainnya. Disinilah peran media cetak (yang memuat karya tersebut) untuk menyaring setiap karya yang masuk kepadanya. Sejatinya, sebuah karya yang dimuat dalam suatu media secara tidak langsung telah membebankan tanggung-jawabnya kepada media. Tatkala karya tersebut kontroversial atau memberi dampak negatif terhadap lingkungan sekitar, sudah sepantasnya media yang memuatnya turut serta bertanggungjawab. Inilah posisi media.

Suatu media cetak, menurut hemat penulis, sah-sah saja jika membuat perubahan sedikit pada suatu karya asalkan tidak mengubah esensinya. Sebagai contoh, pemakaian bahasa atau istilah yang perlu diperjelas, atau kata-kata yang menurut orang kebanyakan kurang etis untuk dipakai. Tentunya, dalam melakukan perubahan terhadap karya tersebut benar-benar diperhatikan. Sebagai contoh, kesalahan penulisan judul karya atau petikan wawancara yang tidak dituliskan secara komprehensif akan berpengaruh terhadap makna karya. Terkadang narasumber geram, karena pernyataannya hanya dilansir sebagian saja dan penyajian yang sebagian itu akan bermakna sumir apabila tidak disajikan secara lengkap. Faktor kesalahan manusia (human error) mungkin bisa terjadi di sini. Akan tetapi, semestinya hal itu bisa dihindari dengan peningkatan pengawasan dan keprofesionalan media. Semua ini dimaksudkan agar jargon kebebasan bersuara tidak bertentangan dengan batasan-batasan normatif / aturan-aturan media. Sehingga tidak timbul persangkaan; tergantung pada tujuannya, tujuan penulis karya atau media itu sendiri.

------

Agaknya dalam membaca suatu karya kita harus mengerti atau paling tidak tahu apa tujuan dari penulisan karya tersebut. Karya apapun, tak terkecuali tulisan ini.

Disinilah diperlukan pembaca yang cerdas yang tidak hanya begitu saja menganggap tulisan-tulisan dalam media cetak benar atau salah sepenuhnya. Tergantung tujuannya. Hal ini diperlukan sehingga Budi dan Susi bisa saling mengerti posisi mereka masing-masing. (/zhw)