tempat sementara untuk menuliskan kejadian yang berlangsung sementara dan dalam kita hidup di dunia yang sementara ini..

Selasa, 29 Desember 2009

tulisan keempat

Mengapa saya menulis tulisan ini? lagi-lagi didasari dari keinginan saya untuk membuat kritik terhadap keadaan sekitar. Saat itu, saya sedang bermain ke kosan teman, kebetulan di kamarnya ada teman dari teman saya yang sedang mencoba membuat artikel untuk dikirimkan ke Media Center. Meminta tanggapan dari artikel yang sedang dia tulis. Sekilas saya membaca artikel tersebut, dan menurut pendapat saya terdapat banyak kritikan kepada salah satu lembaga eksekutif di kampus saya waktu itu. Mungkin dia mempunyai maksud lain, akan tetapi kiranya saya perlu untuk menyampaikan apa yang ada di pemikiran saya waktu itu mengenai bagaimana sebuah tulisan mempunyai maksu-maksud yang terkandung, baik tersurat maupun tersirat di belakangnya.
Tulisan ini sudah saya berikan kepada teman saya di Media Center (kali ini ga usah sebut merek ya, Goi..:p ).. akan tetapi entah lupa atau tulisan saya tercecer dimana..tidak ada tindak lanjut mengenainya..
Yah, lagi2 artikel supermini.. :)

EKSTRINSIKALITAS KARYA MANUSIA

Budi dan Susi sedang asyik membicarakan, lebih tepatnya berdiskusi, tentang sebuah artikel di Koran yang mengangkat topik mengenai perbedaan gender dalam pemerintahan. Keduanya saling berpendapat dan saling mempertahankan argumennya masing-masing (mungkin ini terjadi karena masing-masing sudah terlanjur berargumen ini dan itu, gengsi kalau menerima argumen orang lain). Perdebatan pun akhirnya terjadi, karena masing-masing terlalu kokoh dengan pendapatnya sendiri.

-----

Sebuah karya sastra atau tulisan dalam suatu media cetak mempunyai unsur-unsur pembentuknya. Selain unsur intrinsik –yang terdiri dari alur/plot, amanat, gaya bahasa, latar/setting, perwatakan- sebuah karya dipengaruhi oleh unsur ekstrinsik yaitu unsur-unsur yang berpengaruh terhadap karya sastra di luar penyusunan karya tersebut. Diantaranya; kondisi politik pada saat itu, latar belakang budaya penulis, atau alasan/tujuan penulis menulis karya tersebut.

Dalam perjalanannya, setelah melewati beberapa masa atau tahapan waktu, suatu karya boleh jadi menjadi tidak bermakna karena apa yang dimaksudkan dalam karya tersebut tidak dapat dimengerti oleh pembaca. Sebagai contoh, potongan kalimat “….kita harus mengencangkan ikat pinggang”. Jika hal ini dibaca oleh anak cucu kita nanti bisa terjadi pergeseran konteks makna. Pada masa ini –dilihat dari situasi politik dan ekonomi- bermakna agar kita lebih sigap dan siap dalam menghadapi kondisi yang terburuk. Berbeda jika dibaca setelah lewat sekian waktu. Membutuhkan penjelasan tentang latar belakangnya.

Sejalan dengan itu, setiap tulisan yang dimuat dalam suatu media sudah semestinya kita perhatikan unsur-unsur apa yang melatarbelakanginya. Dalam pembahasan ini, penulis batasi pada tulisan/ artikel media cetak, yang selanjutnya kita sebut saja karya. Hal ini penting, karena salah satu senjata politik yang paling ampuh adalah publisitas media. Tak jarang banyak pemimpin di dunia ini yang jatuh atau mengundurkan diri gara-gara kritik media (kecuali di Indonesia mungkin). Di lain pihak, karya bisa menjadi counterbalance bagi kebijakan-kebijakan yang menyimpang atau suara-suara minor yang menyesakkan. Tergantung tujuannya..

Seringkali, suatu karya bisa menjadi acuan yang mengubah pola pikir pembacanya. Sehingga timbullah anggapan bahwa hal yang dimaksud oleh penulis karya itu benar atau salah sepenuhnya. Tentunya tidak bermasalah jika karya tersebut merujuk kepada hal yang murni kebaikan atau manfaat. Yang menjadi masalah, tatkala karya tersebut memang tidak sepenuhnya benar dan merupakan pandangan subjektif terhadap suatu hal. Karya-karya seperti itulah yang semestinya diperhatikan apa tujuan penulisannya. Lagi-lagi, tergantung tujuannya.

Motivator eksistensial

Dalam berkarya, seseorang mempunyai motivasi tersendiri yang mendorong ia berkarya. Motivasi-motivasi itu, menurut hemat penulis, antara lain; pertama, keinginan pribadi untuk mengkritisi keadaan sosial yang ada. Protes sosial biasa disebut untuk motivator ini, karena pada dasarnya, manusia mempunyai sifat berontak (rebell). Untuk motivator ini, penulis karya murni sepenuhnya ingin menanggapi suatu kondisi yang tidak sesuai dengan pemikirannya atau mengapresiasi suatu keadaan. Publisitas identitas biasanya dinomorduakan. Yang penting, “saya sudah mengutarakan persepsi saya terhadap hal itu”. Kedua, dorongan untuk menunjukkan bahwa diri kita ada (eksis). Motivator seperti inilah yang kerap terjadi. Publisitas identitas menjadi hal yang utama. Penulis karya, utamanya, menginginkan dirinya dikenal khalayak ramai dengan sedikit mengesampingkan esensi dari karyanya. Bagaimana dengan yang di tengah-tengah?? Ya, terkadang ada juga penulis karya yang tujuan utamanya menulis karya untuk menyampaikan pandangannya terhadap suatu keadaan, tetapi juga menginginkan publisitas. Itu sah-sah saja, selama karya mereka bisa dipertamggumgjawabkan. Suatu karya bisa menjadi pemecah masalah atau pembuat masalah dan bisa juga keduanya. Sekali lagi, tergantung tujuannya..

Kebebasan berkarya vs pembatasan (atau keterbatasan??) media

Negara kita sudah mengakomodasi kebebasan bersuara maupun berpendapat bagi masyarakatnya. Ini dibuktikan dengan memasukkannya ke dalam batang tubuh UUD 1945. Kebebasan bersuara dan atau berpendapat disini termasuk di dalamnya kebebasan untuk berkarya (lagi-lagi saya tekankan, karya yang dimaksud disini adalah tulisan-tulisan atau artikel pada media cetak). Kebebasan berkarya tentunya mempunyai batasan-batasan dimana tidak boleh bertentangan dengan agama dan hal-hal normatif lainnya. Disinilah peran media cetak (yang memuat karya tersebut) untuk menyaring setiap karya yang masuk kepadanya. Sejatinya, sebuah karya yang dimuat dalam suatu media secara tidak langsung telah membebankan tanggung-jawabnya kepada media. Tatkala karya tersebut kontroversial atau memberi dampak negatif terhadap lingkungan sekitar, sudah sepantasnya media yang memuatnya turut serta bertanggungjawab. Inilah posisi media.

Suatu media cetak, menurut hemat penulis, sah-sah saja jika membuat perubahan sedikit pada suatu karya asalkan tidak mengubah esensinya. Sebagai contoh, pemakaian bahasa atau istilah yang perlu diperjelas, atau kata-kata yang menurut orang kebanyakan kurang etis untuk dipakai. Tentunya, dalam melakukan perubahan terhadap karya tersebut benar-benar diperhatikan. Sebagai contoh, kesalahan penulisan judul karya atau petikan wawancara yang tidak dituliskan secara komprehensif akan berpengaruh terhadap makna karya. Terkadang narasumber geram, karena pernyataannya hanya dilansir sebagian saja dan penyajian yang sebagian itu akan bermakna sumir apabila tidak disajikan secara lengkap. Faktor kesalahan manusia (human error) mungkin bisa terjadi di sini. Akan tetapi, semestinya hal itu bisa dihindari dengan peningkatan pengawasan dan keprofesionalan media. Semua ini dimaksudkan agar jargon kebebasan bersuara tidak bertentangan dengan batasan-batasan normatif / aturan-aturan media. Sehingga tidak timbul persangkaan; tergantung pada tujuannya, tujuan penulis karya atau media itu sendiri.

------

Agaknya dalam membaca suatu karya kita harus mengerti atau paling tidak tahu apa tujuan dari penulisan karya tersebut. Karya apapun, tak terkecuali tulisan ini.

Disinilah diperlukan pembaca yang cerdas yang tidak hanya begitu saja menganggap tulisan-tulisan dalam media cetak benar atau salah sepenuhnya. Tergantung tujuannya. Hal ini diperlukan sehingga Budi dan Susi bisa saling mengerti posisi mereka masing-masing. (/zhw)


0 komentar: