tempat sementara untuk menuliskan kejadian yang berlangsung sementara dan dalam kita hidup di dunia yang sementara ini..

Selasa, 29 Desember 2009

tulisan ketiga

Tulisan ini saya buat tentang beberapa permasalahan di kampus STAN pada saat itu, yang pertama adalah kasus pen-DO-an beberapa teman saya yang dikarenakan oleh salah satu dosen di kampus kami. Akan tetapi, setelah diajukan banding kepada pihak kampus, teman2 kami dinyatakan lulus dan tidak perlu mengulang tahun berikutnya. Entah ada apa dibalik itu.. Kedua, saat itu gencar-gencarnya perang urat saraf antar lembaga institusi di kampus STAN. Yang kebetulan saya ingat adalah antara Media Center dengan lembaga Eksekutif mahasiswa. yang ternyata, diramaikan oleh pihak-pihak lain yang kalau saya cermati terdiri dari banyak latar belakang dan kepentingan..
Atas bantuan teman saya di media center, Vigor Arya (Setjend Depkeu), tulisan supermini ini dimuat di Koran Civitas.
Salah satu reaksi teman saya yang kebetulan main ke kosan, Muliya namanya (DJBC Semarang).
Saya,"Eh, ada tulisan menarik nih.." sambil menunjuk pada atikel supermini yang saya bikin.
Muliya (yang saya terjemahkan dengan bahasa saya sendiri), "Ah, tulisannya kurang komunikatif.. Pake istilah-istilah yang tidak umum lagi.. tujuannya ga sampai nih.."
*hehe_ kurang lebihnya gitu yak,Mul? :D

Yap, sepeti yang sudah saya utarakan sebelumnya, maksud suatu tulisan bisa jadi dipahami oleh semua pihak, akan tetapi, ada beberapa bagian yang hanya penulis saja dan pihak2 tertentu yang dapat menangkapnya.

berikut artikel supermininya.. kali ini ga pake happy reading ah..


DEMIRAKULISASI*

Pada saat kita melihat suatu pertunjukkan sulap secara langsung ataupun melalui suatu media, timbul decak kagum diantara kita. Sehingga, dengan serta merta –walaupun tidak semuanya- berucap; “Ajaib!”, “Kok bisa?!”, “Magnificent!”, “Gila!!” dan ungkapan keheranan lainnya. Akan tetapi, jika pada kesempatan lain sang pesulap membeberkan trik sulapnya, hal yang tadinya menurut kita ajaib, sudah menjadi hal yang biasa saja.

Dalam kehidupan ini, terkadang suatu hal yang menurut pandangan orang lain biasa saja menjadi hal yang aneh, tak biasanya, tidak bisa dijelaskan dengan nalar kita. Hal ini bergantung pada seberapa jauh pengetahuan kita terhadap hal tersebut. Proses “penelanjangan” sesuatu yang aneh, ajaib, belum bisa dimengerti disini yang dimaksud penulis adalah pencaritahuan akan hal-hal atau sebab-sebab pada umumnya. Bukanlah “penelanjangan” miraculum (mukjizat), mengenai suatu keimanan yang merupakan hal yang sangat sensitif bila kita bicarakan.

Sebuah contoh sederhana ketika hasil usaha kita selama satu semester telah dinilai dengan angka-angka. Timbul beberapa komentar; “Hah, 3,86?! Makan apa tu anak?!” atau ketika, yang sangat disayangkan, beberapa nama teman kita tidak tercantum dalam daftar mahasiswa yang dinyatakan lulus; “Kok bisa?! Ah, tidak mungkin! Dia pintar kok..” terlebih, ketika diumumkan alasan yang menyebabkannya tidak lulus. Sungguh menjadi hal yang mengherankan (bagi saya). Maka, tanpa bermaksud sok tahu, muncullah kesimpulan; Terjadi kesalahan dalam mekanisme penilaian. Untuk menepis hal tersebut, membutuhkan proses penjelasan tentang latar belakangnya.

^^x

Sangat disayangkan sebenarnya, ketika dalam proses pencarian ini justeru menimbulkan perbedaan pandangan yang menjurus kepada perpecahan (Ach,, bahasa apa sih yang lebih halus..) hal ini terjadi kala suatu pihak merasa lebih dari yang lainnya sehingga apa tujuan utama yang diusung bersama menjadi kabur.

Terkadang dalam suatu sistem, proses pengawasan terjadi secara bertingkat. Sebagai contoh; murid diawasi oleh wali kelas, wali kelas diawasi oleh kepala sekolah, kepala sekolah diawasi oleh komite sekolah dan seterusnya sampai hierarkhi teratas. Yang menjadi masalah disini adalah, menyitir kata-kata dalam Satir karya Juvenal ‘Siapa yang mengawasi sang pengawas’. Hal ini tentunya harus diperhatikan, mengingat banyak pihak yang mengaku sebagai ‘watchdog’ dengan dalih pengawasan dan kebebasan menyatakan kehendak justru kebablasan dalam melakukannya. Tak heran jika pihak yang diawasi malah mencoba mengambil alih si pengawas. Dalam pameo politik reformasi yang lalu pernah muncul; mahasiswa takut pada dosen, dosen takut pada dekan, dekan takut pada rektor, rektor takut pada presiden, presiden takut pada mahasiswa. Logika siklik ini tentunya tidak berlaku pada keadaan normal, terlebih, apa yang dimaksud mahasiswa disini mengalami disfungsi peran.

Berbicara mengenai peran (apalagi kalau ditambah akhiran –an) mahasiswa menjadi sebuah polemik yang tidak berkesudahan. Saat ada mahasiswa yang mengajak atau memberitahu tentang suatu hal yang normatif dilain pihak sekelompok mahasiswa menertawakannya. Pastinya dengan beberapa pertimbangan dan sedikit pembenaran. Ini baru tentang hal yang sepele tentang pemakaian suatu jenis pakaian. Pun kala kita dihadapkan pada pandangan mengenai sikap mahasiswa yang kurang reaktif terhadap keadaan sekitar, timbul sejuta pendapat tentang itu. Menjadi hal yang berlarut-larut dibahas dari pertama mengenal lingkungan ini sampai sekarang. Tapi, bukannya basi, hal tersebut justru memicu munculnya berbagai benih-benih wajah baru dari yang berlatar “Agak Sosialis” sampai tandingan (baca:oposisi) sebuah entitas eksekutif. Entah bermaksud menampung mahasiswa yang kurang reaktif menjadi agak sedikit reaktif atau memberikan alternatif pilihan terhadap monotonnya keadaan sekitar, mereka sedikit lebih baik daripada segelintir orang yang membahas panjang lebar tentang kelemahan-kelemahan pihak lain dengan memasukkan isu mengapa seseorang bisa tidak reaktif terhadap lingkungan sekitar tanpa mau mendiskusikan dengan pihak yang bersangkutan untuk mencari jalan keluar bersama (Ups, jangan-jangan saya termasuk di dalamnya=).

Mungkin, terlihat klise. Akan tetapi kembali ke bagian depan, tergantung sejauh mana kita memahami hal ini. Disinilah proses untuk mencari sebuah kebenaran, bukan sebuah pembenaran.



* Istilah ini dipakai oleh Dhesi Ramadhani dalam pengantar buku Dinasti Yesus


0 komentar: