tempat sementara untuk menuliskan kejadian yang berlangsung sementara dan dalam kita hidup di dunia yang sementara ini..

Senin, 28 Desember 2009

tulisan kedua

tulisan ini saya isneg buat ketika kuliah tingkat 2.
berlatar musim hujan dan banjir di daerah jakarta. kemudian ditambah ramainya proyek banjir kanal timur. jadi deh renungan saya yang kemudian dituliskan dalam tulisan berikut:


SEMOGA ESOK LEBIH BAIK


Aku benci air. Air yang coklat bercampur lumpur ditambah dengan hanyutan sampah-sampah dari sampah yang dibuang sembarangan. Betapa banyak bibit penyakit dan kotoran yang dibawanya. Belum lagi lumpur yang hanyut bersamanya; lengket, bau dan susah dibersihkan. Aku benci itu.
Begitulah kalau musim hujan turun. Sebuah malapetaka bagi kami yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung. Sebuah kali ciri khas dari kota terbesar di negeri ini. Bah, ciri khas.. sebuah ironi menurutku. Sebuah paradoks. Dimana disamping kami berdiri megah beton raksasa yang beratus-ratus meter dengan dana triliunan rupiah (semua itu duit). Sedang disini terdapat wajah pemukiman kumuh ilegal yang sewaktu-waktu siap digusur (kami heran, padahal sudah mendapat IMB) seperti teman-teman kami di kolong tol. Di sini para kaum marjinal hidup untuk menjadi babu, atau yang lebih rendah dari itu, di Negeri kami sendiri. Kadang terpikir olehku, apa maunya pemimpin kota ini. Mengurusi tata kota biar air tidak menggenang saja berpuluh-puluh tahun belum juga beres. Dulu, ada wacana bagus dari pemimpin kota ini untuk meneruskan warisan kolonial membangun kanal dalam rangka menanggulangi bencana banjir, proyek Banjir Kanal Timur mereka bilang. Tapi seperti tradisi di negeri ini, sangat bagus dan manis dalam perencanaan, akan tetapi buruk sekali dalam pelaksanaan. Pembebasan lahan penduduk yang dilalui proyek telah memanggil buaya-buaya untuk menggigit tiap potong uang kompensasi yang seharusnya menjadi hak penduduk. Tidak hanya di tingkat pembuat kebijakan, calo pun ikut serta main akal-akalan, diciptakanlah sertifikat tanah palsu yang pastinya membawa nama perangkat pemerintahan daerah, mulai dari RT, RW, camat dan kroninya. Tak heran bila kemudian proyek itu diubah nama: Bancakan Kanal Timur.
Aku sangat geram ketika diberitahu langsung salah satu dari calo. Ingin kujotos mukanya, kuambil lumpur kotor itu kemudian kujejalkan ke mulutnya yang kotor. Tapi, bukannya aku tak mau, aku tak bisa. Bagaimana lagi, dia ayahku sendiri.
Sempat terpikir olehku, kita merdeka terlalu cepat. Kenapa tidak menunggu BKT diselesaikan sebagaimana Banjir Kanal Barat dibuat oleh kaum kolonialis. Tapi tentunya kaum nasionalis akan menjotosiku jika mendengarnya.
^^x
Aneh kalau aku berinteraksi dengan teman-temanku disini. Mereka sering berkata, “Apaan sih lo! Bilang aku-kamu aku-kamu, jijay banget!”
Aku sempat bingung saat itu. Apa dosanya aku bilang aku-kamu kepada mereka. Setelahnya aku mengetahui bahwa kata aku-kamu di sini sangat sakral. Hanya digunakan untuk orang-orang yang mempunyai hubungan istimewa, seperti pacar atau keluarga. Cukuplah lo-gue di antara hubungan pertemanan. Aku terkadang heran, mereka produk anak muda metropolitan. Seakan kehilangan makna, apa sebenarnya tujuan hidup mereka. Mereka terjebak dalam kondisi yang ‘Apa yang seharusnya saya lakukan?’. Lihatlah jebakan-jebakan itu; materialisme, hedonisme dan vandalisme (oh, kenapa aku jadi kere gini=). Terkadang mereka mencari pelarian hanya untuk , katakanlah ‘hal-hal pribadi yang terlalu dibesar-besarkan’. Negara ini membutuhkan tenaga dan pikiran mereka untuk membangun bangsa, bukan untuk mendengarkan tangisan cengeng dan rengekan mereka. Pupuslah kata-kata pendiri bangsa ini; “Beri aku 10 pemuda, niscaya aku akan merubah bangsa”. Sangat ironis. Semoga mereka memahami itu. Tapi tentunya (lagi-lagi) kaum nasionalis akan menjotosiku jika mendengarnya.
^^x
Rasanya sudah berpuluh-puluh tahun, lama sekali aku tinggal di ibukota ini. Padahal baru 3 tahun yang lalu aku disuruh ibu untuk menyusul ayahku yang merantau sebelumnya. Hanya berbekal pengetahuan; Bang Djambrong, daerah operasi Ciliwung, aku temukan ayahku dengan mudah. Seorang “biro jasa” untuk berbagai macam urusan birokrasi. Mulai dari pembuatan KTP sampai sertifikan tanah palsu tadi. Heran, betapa baiknya birokrasi kita sampai-sampai menyediakan lahan penghidupan bagi orang lain yang tidak punya wewenang di dalamnya.
Aku benci pekerjaan ayahku. Mendingan aku mengorek-orek sampah untuk mencari benda-benda plastik dan benda daur ulang untuk dijual ke lapak-lapak di sekitar sini. Belakangan, aku mendapat pekerjaan yang cukup layak bagiku, dengan bekal ijazah SMA-ku, menjadi loper koran. Banyak sekali hal atau berita yang aku dapat dari setiap kolom koran yang kubaca. Aku suka koran!!
Sekarang, waktu sepertinya bergerak lebih cepat (sedikit). Kontrakku dengan agen koran hanya 1 tahun, sesudahnya menunggu baik-buruknya hasil kerjaku. Ternyata jika kita mengerjakan hal-hal yang menyenangkan waktu terasa begitu cepat. Hari demi hari bagi kaum kami (termasuk aku sebelum mendapat sedikit kesenangan) berlalu begitu lama. Kesusahan yang menghimpit kami membuat kami berpikir; “Kami harus hidup sejahtera!”. Akan tetapi harapan itu sangat susah digapai dan kami harus menunggu dan terus mencarinya. Lama.
Mungkin bagi mereka yang duduk di kursi kehormatan, para pengambil keputusan rakyat, masa jabatan 5 tahun berasa sangat cepat. Sehingga perlu dan berusaha untuk mendapatkannya kembali. Begitulah, waktu berlalu begitu cepat bagi mereka yang merasakan kesenangan. Entah, atau ini hanya pemikiranku saja. Aku teringat pada kata-kata ilmuwan terkenal (kalian jangan kaget, karena aku pernah mengenyam pendidikan SMA sampai tamat); “Bila Anda sedang jatuh cinta, satu jam akan terasa seperdetik. Bila anda duduk di atas sisa arang yang masih merah dan panas, sedetik serasa satu jam, itulah relativitas” (Albert Einstein). Ya, relativitas. Kebahagian-kesengsaraan di dunia kami.
^^x
Jangan tanyakan keadilan kepada kami. Karena pada dasarnya tidak ada hal yang adil di dunia ini. Walaupun begitu, semestinya kami berhak mendapatkan perlakuan yang layak sebagai warga negara. Dulu, ketika aku hendak berangkat menyusul ayahku, ibu berkata,”Hati-hatilah kamu disana Nak, kawan bisa menjadi lawan. Baik-baiklah kamu bersikap, tapi jangan terlalu baik-baik. Ibu kota itu kejam”. Ada benarnya perkataan ibu. Karena himpitan kesusahan, disini kami tidak mempedulikan siapa teman kita. Banyak pencopet, pengutil dan maling yang berkeliaran. Dalam bersikappun sudah semestinya kita proporsional. Karena jika sekali saja kita berbuat baik yang melebihi kewajaran kepada peminta-minta akan menjadi kebiasaan. Tapi, apakah ibukota itu kejam?? Agaknya aku kurang sependapat dengan ibu dalam hal ini. Mungkin karena ibu belum diberi kesempatan untuk menjajagi kota ini. Kota ini, sebagai benda mati, tentunya tidak bisa melakukan gerak aktif yang bisa mencelakakan kita, kecuali dengan kehendak-Nya. Kota ini hanyalah sebuah objek. Objek yang di dalamnya terdapat berbagai subjek yang beraneka ragam yang membuat, seolah-olah, objek itu hidup. Manusialah subjek itu, yang telah mempermak tatanan kota, yang melakukan aktivitas di dalamnya, yang melakukan kebaikan-keburukan di dalamnya. Sehingga memberikan persepsi yang berbeda-beda bagi subjek yang di dalamnya maupun bagi pengamat di luar objek (lagi-lagi relatif). Ibu, ibukota memang kejam. Tapi ibu lupa, atau mungkin belum tahu, siapa yang membuatnya kejam..
^^x
Sudah dua hari ini hujan mengguyur kota. Sesekali mereda, tapi datang lagi. Situ-situ, sungai-sungai dan tempat penampungan air hujan sudah terpenuhi dengan air. Sehingga genangan air kini turun ke jalanan. Menghambat laju transportasi dan perekonomian bangsa. “Bangsa? Separah itukah?”, temanku bertanya. Pastinya. Coba lihat jalanan yang menuju Bandara Internasional tergenang air yang menyebabkan penerbangan mesti ditunda. Bayangkan apabila ada persetujuan ekonomi Internasional yang harus segera ditandatangani. Bisa terlambat kan,, hehe, itu sok tauku saja.
Setelah kupikir, kita-masyarakat- juga salah. Sangat miris melihat tingkah laku masyarakat ibukota.membuang sampah brgitu saja di kali dan tempat-tempat yang mereka anggap tidak bertuan. Menggunakan fasilitas umum seenak mereka sendiri. Seakan tidak mengerti bahwa itu bukan miliknya, milik kita bersama. Harusnya kalau ada yang melihat seseorang merusak fasilitas publik dia punya hak menjotosnya, dan bilang; “Ini milikku juga!!”. Agaknya kita lebih mementingkan pembangunan fisik daripada pembangunan moral. Lihat saja, kota ini seperti hutan beton saja.
Setiap tahunnya beratus-ratus, atau bahkan beribu-ribu orang memasuki kota ini. Berharap agar mereka memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tapi untung tak dapat diraih, sial pun semakin mendekat. Kehadiran mereka disini justeru menambah beban permasalahan kota ini. Pengangguran yang merajalela, tingkat kriminalitas yang semakin meningkat, dan yang paling kubenci adalah gadis-gadis yang telah dibohongi dengan janji-janji manis untuk bekerja dengan gaji yang tinggi, ternyata dijadikan budak pemuas nafsu disini.
Aku sadar. Akupun bagian dari mereka. Tapi aku punya alasan lain. Aku datang kesini untuk menemui ayahku, walaupun kemudian aku kecewa. Dan aku telah mendapatkan pekerjaan. Bukan pengangguran seperti mereka. Ah, atau ini hanya pembelaanku saja.
Hidup ini mudah, tapi jangan dianggap mudah. Pun begitu, hidup ini sulit, tapi jangan dianggap sulit. Menurutku kita harus memandang realistis terhadap hidup ini. Apa adanya. Jangan mengeluh ketika kita mendapatkan kesusahan. Dan tidak usah berlebihan jika memperoleh kesenangan. Prinsipku, mengutip kata-kata seseorang, Berbuat dan berpikir positif pada kondisi apapun sekarang kita berdiri merupakan hal yang paling mungkin dan terbaik yang aku lakukan. Seperti saat ini. Aku harus tidur diatas tumpukan papan supaya tidak terendam air. Mencoba memejamkan mata dengan dingin yang menusuk tulang, serta berharap semoga esok lebih baik.
^^x

0 komentar: