tempat sementara untuk menuliskan kejadian yang berlangsung sementara dan dalam kita hidup di dunia yang sementara ini..

Senin, 28 Desember 2009

Tulisan Pertama

Tulisan ini, lebih tepatnya cerpen, saya buat ketika kelas 3 SMA. Waktu itu ada perlombaan menulis cerpen untuk memperingati HUT Proklamasi. Sebelumnya saya tidak tertarik untuk ikut. Akan tetapi saya diajak oleh teman saya, Wildan, untuk bepartisipasi di dalamnya.
Akhirnya, dengan persiapan seadanya saya menulis untuk pertama kalinya. Tulisan saya hanya ditulis tangan di dua lembar kertas folio (waktu itu ga punya kompie, apalagi kleptop.. :p), setelah jatuh tempo dikumpulkanlah naskah saya ke Guru Bahasa Indonesia, Pak Anang waktu itu..
Dan di luar harapan malah mendapatkan apresiasi yang bagus dari penilai-penilai yang ada..
Jadi ketagihan nulis..hehehe..
okay happy reading!!

MATI
“Buk! Buk! Buk!”, cangkulnya terus diayunkan menggali sepetak tanah berukuran 2 X 1 meter. Sesekali dia mengusap keringat yang sudah membasahi dahinya. Mata- hari sudah bergerak naik ke ubun – ubun kepala, tapi dia tidak mempedulikan teriknya mentari siang itu.
“Bapaaak! Makanan sudah siaaap!”, seorang anak perempuan berusia kira – kira sembilan tahun berteriak memanggilnya. Seketika itu juga cangkul diletakkan begitu saja di atas tanah. Ia bergegas menuju ke sebuah gubug yang berjarak 20 meter dari tempat itu
Seorang anak perempuan dan isterinya sudah menuggu di atas balai – balai yang terbuat dari bambu. Di atasnya tersaji nasi liwet, coel kangkung, ayam panggang dan sambal terasi.
“Wah, masak enak nih!”, puji orang itu pada isterinya.
“Alhamdulillah Pak, kebetulan kemarin siang ada penguburan dan Isyah dapat uang sawuran cukup banyak, cukup untuk menambah uang belanja”, kata istrinya menjelaskan.
“Gila kamu! Itu ‘kan uang setan!”, bentaknya pada pada isterinya.
“Cepat buang makanan ini ! Aku tak mau tahu kalau terjadi apa – apa dengan kalian”, dengan nada ngotot ia berbicara. Sambil marah – marah orang itu keluar dari gubugnya. Isterinya tertegun sebentar. Ia bisa memahami watak suaminya yang sangat percaya pada takhayul.
# #
Karto. Begitulah panggilannya di desa Patimuan. Sebetulnya perangainya cukup baik. Seorang pekerja keras. Tapi satu sifatnya yang buruk adalah percaya sekali pada takhayul. Ia juga menganut aliran kejawen. Delapan belas tahun lalu Karto menikah dengan gadis anak dari seorang kyai terkenal di desa Adipala. Tetapi orang tua dari gadis itu tidak menyetujui hubungan mereka dan mengusirnya dari desa Adipala. Tiga tahun setelah menikah, mereka baru dikaruniai seorang anak. Shomad, anak pertama mereka sedang menyelesaikan pendidikan agama Islam di Pondok Pesantren ‘Tebu Ireng”. Biaya hidup Shomad sudah ditanggung semuanya oleh kakak Siti, isterinya. Sedang Aisyah, gadis cilik berusia sembilan tahun itu terpaksa harus putus sekolah karena sudah tidak ada biaya lagi untuk melanjutkannya. Satu – satunya mata pencaharian Karto adalah menjadi tukang gali kubur. Sore hari ini ada penguburan dan siang hari ini Ia harus segera menyelesaikannya.
Dengan muka masam Karto kembali meneruskan pekerjaannya. Diambilnya cangkul yang ia letakkan tadi.
“Biarlah hari ini perutku keroncongan. Daripada makan dari uang setan”, gumamnya dalam hati. Karto teringat peristiwa sewaktu kecil ketika Ia menyaksikan sendiri adik lelakinya mendadak kejang – kejang sepulang dari memunguti uang sawuran di jalanan. Menurut analisis seorang mantri, diduga adiknya terserang tetanus karena terdapat luka terbuka di kaki adiknya. Tapi Ia tetap percaya bahwa kematian adiknya karena uang setan itu.
Sepetak tanah yang Ia gali hampir selesai. Pikirannya masih melayang memikirkan anak dan isterinya. Ia takut kalau – kalau terjadi sesuatu dengan isteri dan anaknya.
Walaupun sudah 17 tahun berprofesi sebagai penggali kubur, Karto belum me- ngerti juga tentang hakekat hidup dan mati. Menurut pendapatnya, orang cukup berbuat baik pada sesama. Pada malam Jum’at atau Selasa kliwon, Karto sering memberikan sesaji kepada kuburan keramat untuk mendapat berkah hidup.
Setelah dirasa cukup dalam, Karto menghentikan pekerjaannya. Dengan susah payah Ia naik ke atas permukaan tanah yang berjarak setengah meter di atasnya.
“Bereslah, pekerjaanku sudah kelar, kini tinggal menerima pembayarannya saja”, gumamnya puas dalam hati.
Karto bergegas menuju ke gubuknya, ingin melihat keadaan isteri dan anaknya apakah semua baik – baik saja. Tiba – tiba Karto menghentikan langkahnya Ia teringat cangkulnya masih tertinggal didalam liang yang baru saja diselesaikannya. Setengah berlari Karto menuju liang itu. Beberapa kali Ia harus meloncat menghindari batu – batu nisan di pekuburan. Karto menghentikan langkahnya. Dengan hati – hati Ia mencari pijakan tanah yang kuat untuk turun. Rupanya kali ini Karto kurang beruntung. Tanah yang Ia pijak longsor, tak kuat menahan beban tubuhnya. Karto kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung jatuh ke depan.
“Toloooong !” Karto berteriak sekerasnya. Ia melihat gagang pacul semakin dekat ke mukanya.
“Gedebug !” Terdengar bunyi benda berat berdebam jatuh ke tanah. Karto jatuh ke liang yang baru saja dibuatnya. Mukanya menimpa gagang pacul yang cukup keras.
# #
Karto membuka matanya. Ia sudah berada di suatu tempat yang belum dia kenal. Di depannya tampak pemandangan yang sangat mengerikan. Teriakan orang yang meminta tolong sangat memilukan hati.
“Tolooong ! Ampuuun ! Tobaat !”, suara orang yang disiksa sangat menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarnya.
Tetapi sosok tubuh yang menyiksa orang itu tidak mempedulikannya. Sebuah gada besar berduri tetap diayunkan ke tubuh orang itu sampai tubuh itu berubah bentuk: Jerangkong manusia. Karto mengamati sosok tubuh penyiksa di hadapannya. Badannya tinggi besar, kira – kira dua setengah meter tingginya. Memakai jubah hitam. Di tangannya terdapat beberapa senjata yang tak lazim digunakan.
Jerangkong manusia tadi berubah lagi menjadi sesosok manusia. Sosok tubuh ber- jubah hitam itu menyiramkan sejenis cairan panas ke kepala manusia tadi. Seketika itu juga kulit kepala dan wajah manusia tadi mengelupas. Yang tinggal kini hanyalah sosok manusia berkepala tengkorak. Karto menjerit dalam hati. Ia tak bisa membayangkan jika dirinya yang diperlakukan seperti itu. Karto segera berpaling dari pemandangan yang me- ngerikan tadi. Kini ia melihat seorang manusia yang sedang tidur nyenyak walaupun di sekitarnya terdengar berbagai jeritan dan siksaan yang memilukan hati. Muka manusia tadi berseri – seri memancarkan cahaya kesucian. Karto masih sibuk dengan berbagai keanehan yang dilihatnya di tempat itu.
“Tempat apa sebenarnya ini ?”, tanyanya dalam hati.
Karto tidak menyadari bahwa di sampingnya sudah berdiri dua sosok makhluk yang tidak dikenal. Kedua makhluk bertubuh besar itu menepuk bahu Karto. Karto kaget bukan main. Ia segera berpaling. Karto berusaha menjerit saat melihat kedua wajah yang berdiri di sampingnya. Wajah salah satu sosok itu separo wajah manusia dan selebihnya tengkorak. Bahkan sosok tubuh yang satunya berupa tengkorak dengan mata merah yang meman- dang nanar ke arah Karto.
“Tolooong !” Karto berteriak sekuatnya. Tetapi Ia tidak mendengar teriakannya sendiri. Mulutnya terkatup rapat seperti terkunci. Kedua sosok mengerikan yang memakai jubah
hitam itu maju ke depan Karto.
“Siapa namamu anak manusia ?”, tanya sosok berjubah hitam yang bsrwajah tengkorak. Suaranya menggelegar bagai halilintar yang menyambar – nyambar. Karto terdiam sebentar. Dibukanya mulutnya yang tadi kaku.
“Ka…Karto”, jawab Karto nyaris tak terdengar.
Suasana hening sebentar. Sosok tubuh berwajah setengah manusia mengeluarkan sema- cam kertas usang. Terlihat Ia mencatat jawaban Karto.
“Apa yang telah kamu perbuat selama di dunia ?” Suara yang sangat memekakan telinga itu terdengar lagi oleh Karto. Karto hendak menceritakan tentang kebaikannya selama ini tetapi lagi – lagi mulutnya tertutup rapat, sulit digerakkan.
“Kau tidak bisa berbohong di sini”, ucap sosok tubuh berjubah tadi. Tiba – tiba tangan kiri Karto bergerak – gerak dan mengeluarkan suara seperti bercerita.
“Dia adalah orang yang tidak beragama. Dia tidak punya Tuhan. Dia menggunakanku untuk menyembah kepada kuburan dan tempat keramat”, ucapan tangan itu sangat jelas. Melebihi ucapan bibir Karto tadi. Keringat dingin mulai mengucur deras di tubuh Karto.
“Apakah itu benar Karto ? “, tanya sosok tubuh berjubah tadi.
“I… Iya”, jawab Karto terbata – bata.
Memang itulah kenyataanya, walaupun isterinya selalu mengajak Karto untuk beribadah kepada Sang Pencipta dengan jalan Shalat dan puasa, Karto tidak menghiraukannya. Ia menganggap perbuatan itu konyol. Hanya menyusahkan dirinya saja. Sosok tubuh tadi melanjutkan bicaranya.
“Kalau begitu….. nasib kamu akan sama seperti orang itu”, sosok tubuh tadi menunjuk ke arah pemandangan mengerikan yang dilihat Karto tadi. Karto meneguk ludahnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana bentuk tubuhnya nanti.
“Nah, sekarang giliranmu, Rasakanlah !!” Sosok tubuh berjubah hitam itu mengangkat gada yang dibawanya. Kemudian dengan sekuat tenaga diayunkannya gada yang beruku- ran sebesar pohon kelapa itu ke kepala Karto.
“Tidaaaaaaaaaaakhkh !”
# #
“Istighfar pak, Nyebut !” Isteri Karto berusaha menenangkan tubuh suaminya yang meronta – ronta di atas balai – balai bambu. Di sekelilingnya beberapa tetangga ikut berusaha menenangkan tubuh Karto yang masih berontak kuat.
“Pak, istighfar, nyebut pak !”,sambil menangis isterinya kembali menenangkan.
“Isti… tighfar… Nye..but, buut, buut”, Karto mulai sadar, Ia menirukan apa yang diucapkan isterinya. Tetangga disekelilingnya sebenarnya ingin tertawa mendengar ucapan Karto. Tapi, ini bukanlah saat yang tepat mengingat kondisi Karto yang begitu payah.
Salah seorang tetangga Karto berusaha menyangga tubuh Karto agar bisa bersandar. Karto melongo melihat dirinya dikelilingi oleh tetangganya. Isterinya masih menangis di sisi Karto.
“Ada apa ini, Bu ?”tanya Karto kepada isterinya.
“Tiga hari tiga malam Bapak tidak sadarkan diri setelah jatuh di kuburan itu, pak”, Isterinya mencoba mengingatkan Karto.
“Dan syukur Alhamdulillah bapak sudah sadar, Isyah sudah menangis saja dari kemarin,” sambil mengusap – usap kepala anaknya istri Karto mencoba menjelaskan. Karto mulai ingat kejadian siang itu ketika tubuhnya jatuh terjembab di liang yang baru saja dibuatnya. Dan ia juga ingat setelah itu ia berada di suatu tempat yang aneh dengan dua makhluk yang menyeramkan. Sekarang tahu – tahu ia sudah berada di rumahnya dikelilingi oleh tetangganya. Karto masih merasa bingung dengan kejadian yang ia alami.
“Ini …..Pak Jaka dan kawan – kawannya yang sudah menolong bapak sore itu,” istri Karto menunjuk tiga orang yang berdiri di depan Karto. Kepala ketiga orang itu mengangguk – angguk.
“Wah, Pak Jaka terima kasih banyak atas bantuannya,” ucap Karto
Ketiga orang itu tersenyum. Tak lama kemudian tetangga Karto berpamitan. Tak lupa Karto mengucapkan terima kasih kepada tetangganya.
# #
Hari – hari setelah kejadian itu, Karto banyak melamun. Pikirannya masih melayang – layang memikirkan apa yang telah dialaminya. Seringkali Siti menasehati suaminya yang sedang bingung itu. Kali ini nasehat istrinya benar – benar dipikirkannya.
“Mungkin selama ini benar juga ucapan istrikku,” ucap Karto dalam hati.
Haripun makin larut malam, Karto masih juga melamun di depan jendela kamarnya. Pandangannya tertuju bebas ka arah pekuburan yang gelap mencekam. Dari kejauhan terlihat batu – batu nisan yang tampak seperti hantu – hantu kuburan. Tapi tunggu dulu, ada sosok tubuh berjubah hitam berdiri di tengah pekuburan. Sosok itu berwajah tengkorak dengan mata memerah yang memandang nanar ke arah Karto. Senyumnya menyeringai menampakan kengerian yang luar biasa. Ya, persis seperti yang dilihat Karto saat dia mati suri. Sosok berjubah hitam itu melambaikan tangannya ke arah Karto. Karto bergidik. Sosok tubuh itu menjauh dari pandangan Karto. Lama – kelamaan sosok tubuh berjubah hitam itu jauh menghilang ditelan gelapnya malam di pekuburan.


yah, namanya saja tulisan pertama.. agak kurang di alur dan keutuhan bahasa.. :p

0 komentar: