tempat sementara untuk menuliskan kejadian yang berlangsung sementara dan dalam kita hidup di dunia yang sementara ini..

Rabu, 30 Desember 2009

tulisan keenam

Tulisan ini saya buat setelah saya menyelesaikan studi saya di kampus STAN. Settingnya adalah, ketika saya magang di KPP Patama Cilacap (kiye setting cerita apa setting pas nulis kiyee?? :D).
Saat itu, saya sering berinteraksi dengan lawan jenis yang mempunyai umur (atau jenjang pendidikan, atau tingkat pemikiran) di atas saya. Entah mengapa, selalu ada ketertarikan terhadapnya. Mungkin tepatnya kekaguman, ketika kita belum bisa berbuat seperti apa yang sudah teman kita perbuat, apalagi wanita. Munculnya kekaguman inilah yang menyebabkan perasaan yang lain. Bukan berarti cinta, karena pada dasarnya hanya rasa suka terhadap objek yang mereka hasilkan. tapi bukan suka biasa, suka yang hanya "like" atas pemikiran-pemikiran atau cara berkomunikasi dengan mereka.
Dan saat merenung (inilah sebenarnya yang membuat saya bisa menulis), muncul kata terlintas dalam pikiran saya: Virga. sempat sedikit beradu argumen mengenai arti dari kata ini dengan teman-teman saya.. kalau dalam kamus Oxford (kamuse ketinggalan nang umah kiyee..) kurang lebih artinya adalah "hujan yang tidak sampai ke bumi, yang butiran-butirannya menggantung di lanit yang menyebabkan sebuah pelangi di langit. biasanya terjadi di daerah panas dan kering, seperti California" penjelasan kedua adalah "streak in the heaven" yang dalam google translate kurang lebih artinya lapisan di langit..

VIRGA

Adalah cinta, yang datang tanpa kendali kita, yang imanen dalam harapan, yang membuat manusia tak ingin statis..

Itulah yang kurasakan sekarang. Perasaan yang membuncah dalam hati ini, yang ingin segera pecah untuk diungkapkan kepada seseorang, Virga. Paras yang sesuai namanya, bagaikan kilatan cahaya dalam surga. Wanita mandiri, cerdas dan berwibawa. Pernyataan bahwa: kebanyakan wanita cantik di negeri ini berotak ayam, karena mereka hanya memikirkan kecantikannya telah gugur dengan premis: Virga adalah wanita yang berparas jelita dengan otak yang luar biasa! Dengan tambahan; anggun dan elegan..

Aku pertama mengenalnya sewaktu mengikuti kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi awal semester dua ini. Seorang dosen muda yang enerjik, menjelaskna dengan semangat tentang teori permintaan-penawaran.

”jadi kalau permintaan naik, bagaimana pengaruhnya dengan harga, Nat?”, ia menunjukku yang waktu itu duduk paling depan pada baris kedua.

”....”

Aku hanya terdiam. Memang sedari tadi aku hanya memperhatikan gerak bibir dan lakunya. Kata-kata yang keluar dari bibirnya seperti alunan musik yang baru pertama kali kita dengar. Kau pasti tau Kawan, sangat enak didengar, tapi kalau kita disuruh menyanyikannya kembali pastilah kita tidak bisa. Dan hasilnyapun aku tidak bisa menjawab pertanyaan termudah di semester ini. Ah, biarlah teman-teman menertawakanku. Paling tidak, aku mendapatkan kebahagiaan karena telah disapa oleh dinda bestariku. Disekelilingku seakan-akan bunga seribu rupa berhamburan, mewangi, merekah dan menyejukkan... oh, indahnya...

^_^

Aku bukanlah seorang perasa yang baik. Maksudku, seorang yang bisa memahami sesuatu dengan perasaan atau orang yang bisa mengerti perasaan. Karena, menurut hematku, setiap masalah pasti dipecahkan dengan menggunakan logika yang berasal dari otak kita. Akan tetapi, semenjak aku mengenal rasa yang memberikan sensasi bunga mekar disekelilingku, kusempatkan untuk mengganti topik diskusiku dengan teman-teman.

”Coba jelaskan kepadaku apa itu cinta?”, tanyaku pada kesempatan waktu sore hari di taman kampus.

Teman filsafatku menjawab,”Cinta adalah suatu rasa yang abstrak yang dirasakan oleh mereka yang mencinta, sebagai akibat dari perbuatan ingin memiliki dan suka terhadap suatu objek”.

Ah, mbulet..pikirku

”Yang kutanyakan, jadi apa definisi cinta itu?apa parameternya? Standarnya apa sampai kita bisa berucap; itu cinta?”

”jadi gini, karena rasa ini abstrak, variasi yang ditimbulkan antara satu orang dengan orang lain pastilah tidak sama. Akan tetapi, bagi mereka yang merasa jatuh cinta pasti merasakan hal yang sama yaitu rasa suka yang membuncah dalam hati, rasa yang ingin memiliki.”, teman sastraku-yang sok tau- menimpali.

Aku belum merasa puas. ”Contoh nyata orang yang merasa jatuh cinta ada yang rela memberikan apa saja bagi orang yang dicintainya. Ada juga yang menganggap cinta adalah making love, atau ada yang beranggapan cinta itu suci yang mesti dijaga kesuciannya. Jadi apa point-nya?”

Aku sering mengikuti diskusi-diskusi ilmiah, jadi harus kupastikan ada satu poin yang pasti dari obrolan kali ini.

”Semua yang kausebutkan tadi adalah akibat dari rasa suka atau kagum terhadap objek. Rasa itulah yang membuatmu melakukan suatu tindakan yang menyebabkan akiibat-akibat yang kau sebutkan tadi..ck..ck..ck”, makin sok saja teman sastra berkacamata ini.

”Tetap saja. Aku tidak bisa menangkap substansi dari cinta. Apa itu cinta sebenarnya dalam definisi kata.”

obrolan sore itu tidak berbuah kesepakatan. Karena memang sedari awal aku sudah menduga bahwa cinta mempunyai banyak sekali arti sehingga aku tidak menemukan substansi. Ah, cinta...

^_^

Sebenarnya ingin sekali kuungkapkan rasa hati ini kepada Virga. Semakin cepat aku ungkapkan semakin baik untuk diriku. Daripada aku tersiksa dengan ketidakpastian ini. Aku tidak membutuhkan jawaban. Yang kuinginkan hanyalah menyatakan apa yang ada dalam hatiku ini. Itu saja, tidak kurang tidak lebih. Inilah ujian cinta sebenarnya menurutku. Menyatakan isi hati dan rasa suka ini kepada orang yang disukai. Bukan untuk mengharapkan jawaban iya, tidak juga untuk mendapat jawaban tidak. Ah, susah sekali rasanya.. Intinya, aku ingin mengungkapkan rasaku padanya. Sudah itu, habislah. Biarlah nanti waktu yang menjawabnya.

Semakin lama rasa ini kupendam semakin rasa ini membuncah dalam hatiku dan akhirnya pecah menjadi bulir-bulir yang terus sesaki aku. Hukum kepuasan yang semakin berkurang nampaknya tidak berlaku untuk rasa ini. Hukum yang menyatakan semakin benda untuk memenuhi keinginan kita lama-kelamaan kepuasan kita akan benda tersebut semakin berkurang. Lihatlah orang yang haus, ketika kita beri seteguk-dua teguk ait, tentunya memberikan kepuasan yang sangat kepadanya. Akan tetapi, setelah 4 gelas tentunya ia akan merasa muak dengan air itu. Tapi rasaku akan cinta ini semakin lama justru semakin menjadi. Rasa-rasanya aku tidak merasa puas jika hanya memandang wajahnya atau bercakap dengannya di sesi diskusi tambahan. Aku ingin menuntaskannya dengan menyatakan sesungguhnya apa yang kurasa. Tak peduli status dia sebagai dosen dan aku sebagai mahasiswa. Tak peduli dengan perbedaan umur kami. Dan tak peduli jika akhir-akhir ini ia menggandeng seorang anak perempuan berumur 2 tahunan.

Kelimunan ini aku hiraukan, hanya diri yang berkelindan sepi terdiam memagut mimpi. Adakah kau mengerti, sengkarut ini yang terus menyiksa hati...

^_^

Mungkin kau bertanya, Kawan, mengapa aku mencintai Virga. Selalu ada penjelasan untuk suatu hal di sunia ini. Terkadang suatu akibat timbul dari sebab-sebab yang mana sebab itu juga timbul dari suatu akinat sebelumnya, terus begitu, tanpa akhir. Rasa kagumku terhadap wanita mandiri dan berpikiran dewasa telah terpupuk sedari remaja. Sayangnya, sikap mandiri dan pemikiran yang matang biasanya ada pada wanita yang sudah mempunyai umur di atasku. Itulah sebabnya mengapa aku lebih suka kepada wanita yang mempunyai umur di atasku. Tua memang pasti, tapi dewasa adalah pilihan, kata suatu iklan. Tapi sejauh ini yang kutemui; wanita dewasa adalah wanita yang sudah berumur..

Suatu ketika aku menanyakan kecenderunganku ini kepada teman psikologiku.

”Bagaimana pendapatmu tentang kecenderungan orang yang menyukai lawan jenisnya dengan usia yang lebih tua?”

Dia menjawab,”Menurutku, untuk wanita yang menyukai lelaki dengan usia di atasnya adalah hal yang wajar. Karena, pada dasarnya wanita lebih cepat tumbuh dewasa dibandingkan dengan laki-laki”

”Bagaimana jika sebaliknya?”, aku menimpali.

”Maksudmu, lelaki yang menyukai wanita dengan usia di atasnya? Yah, memang ada kecenderungan yang seperti itu, oedipus complex namanya. Biasanya terbentuk karena si lelaki merindukan kasih sayang dan cinta seorang ibu. Tapi kasihan juga si lelaki nantinya. Ketika dia masih mempunyai kekuatan, istrinya sudah bersiap untuk beristirahat bagai bunga yang mengeriput dan layu..hahaha..”

Dasar calon psikolog sinting, pikirku.

dia melanjutkan, ”kecintaan terhadap wanita dengan usia di atas biasanya terjadi karena rasa kagum. Rasa kagum tersebut lama-lama berubah menjadi rasa suka yang bermetamorfosis menjadi cinta. Eh, Nat. Jangan-jangan kau yang mengalaminya?? Hahahaha....”

aku tidak mempedulikan gurauannya-atau pernyataan tentang kenyataan-, dan pergi begitu saja.

Setelah kupikir, benar juga pendapatnya. Rasa yang timbul saai ini berawal dari rasa kagumku terhadap Virga. Rasa kagum terhadap kecerdasannya dan parasnya tentunya. Tapi tetap, kecerdasannya...yang didukung oleh kecantikan paras juga.... Rasa kagum yang berubah menjadi rasa suka untuk memperhatikannya,. Rasa antusias jika bertanya atau berdiskusi dengannya. Rasa gemetar jika menerima boardmarker untuk mengerjakan soal di muka kelas. Dan hamburan bunga seribu rupa yang mewangi, merekah dan menyejukkan jika dia menunjukku.. oh, indahnya...

^_^

Pikiranku terganggu akhir-akhir ini dengan kehadiran perempuan kecil disampingnya. Siapakah dia sebenarnya? Putinyakah? Atau keponakan yang dititipkan kepadanya? Terkadang dia membawa perempuan kecil itu ikut mengajar di kelasnya. Terlihat lucu, memeluk pinggang Virga jika Ia berdiri dan bilang; ”Ma, Nai pingin pipis ma...”

Hah?! Mama??!! Aku langsung tersentak. Perempuan kecil tadi memanggil Virga Mama, berarti dia anaknya dan dengan begitu Virga telah bersuami? Oh, Tuhan.. Seketika itu juga aku merasa duduk sendiri di ruang kelas yang kosong dan sunyi. Senyap yang hanya kudengar. Dan tiba-tiba sebuah balok kayu sebesar ukuran tangan manusia menghantam tanganku, membuyarkan kesunyian ini..

”Heh, ngelamun saja!!”, Anto yang duduk di sampingku menninju lenganku.

Sial.....

Begitu sesi kuliah selesai aku menuju perpustakaan untuk mendapatkan akses internet. Langsung kutuju, kuketikkan alamat situs kampus ini, mengklik Fakultas Ekonomi dan mengklik link Dosen dan Staf Pengajar. Muncul satu deret entry nama yang memenuhi layar. Aku tekan Ctrl+F dan masukkan keyword: Virga. Bingo!! Aku klik link ke informasi personalnya.

Nama : Virga Veranita

Tempat, Tanggal Lahir : Surakarta, 16 September 1984

Mata kuliah : Pengantar ilmu Ekonomi, Akuntansi Keuangan Menengah,

Auditing

.....

.....

Status Perkawinan : Kawin

Sudah cukup sampai di situ, ketika aku kembali merasakan kehampaan. Sekelilingku terasa sunyi sekali. Komputer-komputer dan rak-rak buku berubah menjadi batu besar yang membisu. Orang-orang yang berlalu lalang laksana pepohonan hitam yang menambah suram suasana padang savanna. Sampai terakhir kuingat ada ular berukuran sebesar tangan manusia hinggap di bahuku. ”Mas, gantian komputernya....”

Kadang harapan tidak selamanya sesuai dengan kenyataan. Walaupun ayahku sering bilang kalau harapan adalah awal dari mimpi, dan mimpilah yang membimbing kita untuk mewujudkannya. Aku kehilangan kendali atas diriku. Paska kejadian aku mengerti status perkawinan Virga, aku merasa tidak bersemangat. Entah kenapa aku merasa tidak rela. Aku belum sempat mengutarakan isi hatiku padanya. Belum sempat mengetahui bagaimana reaksinya terhadapku. Wajahku muram, hatiku kelam dan pakaikanku kumal. Dalam kesempatan obrolan dengan teman-temanku berikutnya mereka mencoba membaca pikiranku.

”Nat, apa yang terjadi denganmu?”, teman filssafatku, yang memang baik, mencoba memecah kemurunganku.

Sebenarnya enggan bagiku untuk menceritakannya. Lagian, aku bukanlah orang yang sabar untuk mendengarkan orang lain bercerita. Kali ini justru akulah yang akan bercerita untuk mengungkapkan apa yang mengganjal hatiku. Aku mengerang.

Aku mulai dengan pertanyaan,”Kenapa cinta disebut indah jika ia pada akhirnya hanya meninggalkan luka?”

Teman sastraku-yang sok tau- menjawab,”Cinta itu fase relatif yang absolut, Nat..” sial, dia mencoba memakai bahasa teknis..”Relatif, karena kamu dan kita akan merasakan perasaan yang berbeda-beda mengenainya dan menghadapi kondisi serta akibat yang berbeda-beda. Absolut, karena pasti cinta itu akan datang kepada kita semua. Tak peduli apa rupa, bentuk, sebab dan akibatnya nantinya.. Dengan begitu..sensasi yang..”

”Cukup-cukup..” Aku sudah mengerti akan dibawa kemana penjelasannya. Tak jauh-jauh dari penjelasannya pekan kemarin.

”Jadi yang mana yang kaualami?”, teman filsafatku bertanya.

”Aku mencintai wanita yang telah bersuami...”, jawabku lirih.

Wadefak....”, teman sastraku mengumpat pelan. Kata yang tidak ada artinya di kamus manapun, tapi pelafalannya cukup jelas untuk menjelaskan ucapan umpatan yang berasal dari bahasa Inggris.

”Yah, aku tahu itu konyol. Tapi ini benar-benar menimpaku. Seperti yang telah kaujelaskan mengenai definisi cinta. Aku serasa limbung karenanya”, aku melanjutkan.

Teman psikologiku bertanya,”Terus apa yang akan kaulakukan? Ternyata benar ya, dugaanku kau mengidap kecenderungan itu?”, kecenderungan yang ia jelaskan waktu aku bertanya tentang rasa suka terhadap orang yang diatas umurku, maksudnya.

”Aku akan tetap mengungkapkan rasaku padanya. Meskipun ia telah bersuami. Aku tak peduli apa jawabannya, dan tak peduli apa reaksinya. Aku hanya ingin mengunggapkannya. Itu saja”,jawabku.

”Terkesan platonik. Ya, cinta platonik..”, tukas teman sastraku-yang sok tau. Aku mengerang. Apa lagi ini...

”cinta yang tidak mempedulikan tujuan. Cinta yang...yah, hanya suka sama suka. Tanpa perlu pusing dengan konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.Ah, terlihat sangat apriori..masa bodoh..”

”Bukan itu yang kmaksud!!”, aku menyergah. ”Kalaupun dia belum terikat oleh perkawinan seperti sekarang ini, tentunya aku akan berani untuk membuat suatu komitmen. Asal kau tahu saja, aku hanya ingin terbebas dari rasa ini”

”Baiklah, jadi sekarang, sarsanku, silahkan kau ungkapkan rasa itu. Secara psikologis hatimu akan lega meskipun kau sudah secara nyata mengetahuin apa hasilnya. Paling tidak, kau tidak menyesal karena memendam rasa itu”, teman psikologiku memberi saran.

”Ngomong-ngomong, siapa yang kaucintai?”

”Virga...”, jawabku pelan.

Ketiga temanku mengumpat pelan dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

^_^

Pada akhirnya kubulatkan tekadku menemui Virga untuk mengatakan padanya isi hatiku. Aku sudah siap dengan segala konsekuensi yang terjadi. Sudah siap jika aku ditegur dengan keras, diadukan ke rektorat karena perbuatan kurang ajar terhadap pengajar atau tidak diluluskan dalam mata kuliahnya. Aku mencoba memahami sepenuhnya bahwa cinta tidak selamanya harus memiliki secara fisik. Karena pada dasarnya, ia hanyalah kata abstrak, sehingga tidak satupun manusia dapat merasakan hal yang sama. Tapi aku masih yakin kalau cinta bukanlah kata benda, melainkan kata kerja, yang harus dilakukan, bukan untuk dimengerti. Aku mencoba kembali memakai logikaku yang akhir-akhir ini kusampigkan karena terlalu menggunakan perasaan. Kupikirkan kembali semua kejadian ini ditinjau dari pemikiran normalku. Tapi cinta tidak pernah mengenal logika. Ah, benar saja...

Akupun larut dalam hujan sore ini. Murung dalam mendung yang temaram..

Hatiku meluruh bersama hujan..

Melarung hanyut bersama alirnya air..

Masih terngiang dalam benakku, bulir-bulir rasa bahagia, senyuman tentang harapan, dan harapan tentang masa depan...

^_^

Aku sudah menentukan saat terbaik untuk menemui Virga. Ya, hanya saat ia keluar dari ruang dosen setelah selesai mengajar hari ini. Ruang dosen yang berada pada ujung koridor. Cukup tersembunyi untuk dilihat oleh makhluk-makhluk lain yang tidak berkepentingan. Tinggal sekarang, apa yang harus kuungkapkan? Ah, biarlah nanti setelah aku bertemu dengannya..

Jantungku berdetak beberapa hentakan lebih keras dari biasanya. Pintu ruangan dosen terbuka sedari tadi. Aku terus memandanginya. Tak lama kemudian sesosok perempuan paling cantik di negeriku Indonesia melangkah keluar dari ruangan. Suara berdetak yang timbul dari hentakan sepatu pantovel-nya yang membentur lantai keramik membuat jantungku semakin berdegup lebih kencang. Aku memaku. Ia terlihat muram, berjalan dengan pandangan menyusur ke bawah. Sampai jaraknya cukup dekat denganku, aku menyapanya.

”VI..Virga, bisakah kita bicara sebentar?”, aku memang sudah terbiasa menghilangkan embel-embel Bu atau Dosen di depan namanya. Itu karena kehendaknya sendiri sewaktu sesi diskusi tambahan sering kami laksankan. Dan memang, dia dan aku kerap berdiskusi lebih sering dari siapapun.

”Ya, Nat? Apakah ini tentang kuliah?”, ia menghentikan langkahnya dan merapat ke samping tempatku berdiri. Aku ragu sebentar, kemudian kutegakkan kepalaku untuk menatapnya.

”Eh..yah..mungkin ini kedengarannya konyol. Emm,, dari pertama kali aku mengenalmu aku merasakan hal yang aneh.. Emm,,aku kagum terhadapmu”, wajahku tersipu.

”maksudmu, Nat? Ayolah, tidak biasanya kau begini..”

”Aku mencintaimu Virga..”

seketika itu juga terdapat kebisuan yang cukup lama. Aku tertunduk. Sedangkan Virga hanya termangu. Bibirnya terkatup sedang matanya menatapku prihatin.

”Natan..”, ujarnya lirih, ”kau tidak salah mempunyai rasa cinta. Kau pun tidak salah jika mencintai..akan tetapi kau mencintai objek yang salah. Saat ini aku sudah bersuami dan kau tahu sudah ada Nai sebagai pengikat di antara kami. Meskipun aku tidak merasa bahagia sekarang. Sejujurnya, Nat..aku kagum pada dirimu dan tentunya aku akan sangat tersanjung apabila hal ini terjadi beberapa tahun lalu...”

”Maafkan aku, Nat..kondisiku yang tidak bisa menerimanya”

tak kusangka reaksi seperti ini yang kuperoleh darinya. Sungguh wanita yang mempesona. Aku tetap membisu.

”Nat, cinta bak kurva elastisitas sempurna. Dia akan berdiri kokoh pada satu titik berapapun rasa itu menggelegak. Seringkali membuncah dalam hati, tapi tak jarang hancur berkeping-keping. Itulah cinta, Nat. Kuharap, kau bisa menemukan pijakan yang tepat”, Virga bergegas melangkag meninggalkanku yang tetap terdiam dan tertunduk lesu. Kudengarkan detak langkah kepergiannya sampai ia berbelok di seberang koridor sampai tinggal kesunyian yang menemaniku.

Akupun kini sedikit lebih memahami sebuah kata yang mahadahsyat, cinta. Virga mungkin bukan takdirku. Seperti namanya, ia bagai hujan yang menguap di awan, tidak sempat untuk jatuh ke bumi. Meninggalkan guratan-guratan indah di angkasa, tetapi meninggalkan bumi yang kering.. sekering jiwaku.

Adalah mimpi, yang datang tanpa kendali kita, yang imanen dalam harapan, yang membuat manusia tak ingin statis..