tempat sementara untuk menuliskan kejadian yang berlangsung sementara dan dalam kita hidup di dunia yang sementara ini..

Sabtu, 20 Februari 2010

tulisan kesembilan

Tuisanku kali ini, ingin mengenang kembali beberapa hal yang telah kuperbuat sewaktu kuliah.

Ya, hidup teru berputar, dan kadang kita harus menyikapinya secara rasional. Happy reading!! ^^

Revolusi Telah Mati


Jalanan berdebu. Matahari bersinar terik. Asap kendaraan mengepul di sana-sini dari knalpot kendaraan bobrok. Di atas panggung soundsystem yang ditumpuk di atas mobil pick-up seseorang bertubuh kerempeng berteriak-teriak, meradang, mereguk-redam, meneriakkan kepada orang yang nuraninya masih peduli. Sesekali teriakan semboyan membahana dari tenggorokannya yang kering. Yang sehari-hari mungkin hanya terisi nasi berlauk ikan teri dan segelas air putih dari warung tegal. Teriakan semboyan membikin teman-temannya bergoyang. Mereka menggumam-nggumamkan syair perjuangan sambil berpegangan tangan. Menggerakkan badan ke kanan-kiri secara berirama. Sesekali, anak muda yang terlalu bersemangat mendorong teman yang ada di depannya, yang secara otomatis, mendorong satu teman di depannya lagi. Seperti domino. Yang terdepanlah yang harus berhadapan dengan orang-orang berpakaian coklat-coklat yang membawa perisai dan bersenjatakan pentungan, seperti di film-film india.

*

Matahari semakin terik. Jalanan sudah tidak begitu berdebu lagi. Tidak ada kendaraan yang lewat. Diblokir. Slayer putih sudah dipasangkan menutup separuh muka mereka. Yang lebih panjang lagi, berwarna merah putih, diikatkan di kepala. Sebagai bandana, seperti di film-film Jepang. Si kerempeng melompat turun dari singgasananya. Disambut pekikan “Hidup rakyat Indonesia”!
Si kerempeng kini berembug bersama beberapa teman-temannya. Berkumpul.

- “Kita harus bisa masuk ke gedung ini”

+ “Tidak bisa, pintu gerbang dijaga ketat”

- “Kita ada berapa?”

+ “Paling tidak, sekitar 150 orang saja”

- “Kita ada berapa??”

# “Sekitar 158 orang mungkin tepatnya..”

- “Kita ada berapa!!”

+ “…..”

# “….”

- “Bersama kita seluruh rakyat Indonesia yang telah terenggut kemerdekaannya! Bersama kita orang-orang yang teraniaya dan tidak berani bersuara! Kita bukan seperti mereka yang tidak bisa seperti kita dan lebih memilih mengintip dari sudut jendela! Berapa kita? Ribuan!! Beribu-ribu rakyat yang tidak menerima keadilan!! Berapa kita?? Jutaan!!! Berjuta rakyat yang menjadi budak di negeri sendiri dan termarjinalkan!! Mari bersama, kita bisa!!”

- “Berapa kita?”

+ “Ribuan!!”

- “Bukan. Berapa kita??!!”

#+ “Jutaan!!”

- “Mari kita bergerak!! Hidup rakyat Indonesia!!”

“Hidup rakyat Indonesia!!!!”

*

Di sudut gedung seseorang berkacamata hitam tengah berbicara dengan seseorang yang berseragam cokelat-cokelat.

- “Mereka sudah kelewatan”

+ “Cih, mahasiswa yang kurang kerjaan. Mau makan apa mereka nantinya”

- “Itu sudah kelewatan. Mereka bergerak menerobos pasukan pembatas”

+ “Coba saja, kalau mereka mau pulang dengan cacat”

- “Sudah, hentikan, jangan biarkan sejengkal-pun mereka masuk. Jika berani, habisi”

+ “Pasti, tuan. Silahkan kembali saja ke dalam, membahas kebijakan bersama teman-teman anda”


Blip! Walkie-talkie diambil dari ikat pinggang.

+ “Sersan Joko, over’

# “Sersan Joko Siap!”

+ “Bereskan mereka. Melawan, habisi”

# “Siap. Laksanakan!”

*

Pemuda kerempeng berjalan di depan disertai jutaan pengikut di belakangnya. Bak penggembala domba yang sedang menuntun gembalanya agar tidak tersesat. Para dombapun mengikuti dengan mantap. Dengan mata nyalang yang terisi ideologi perjuangan. Walaupun mereka sendiri merasa seperti domba, dalam hati mereka berkata: “Kami bukanlah domba-domba yang tersesat”.
Sang pemuda kerempeng kini menjelma menjadi juru penyelamat. Seluruh beban bangsa seolah tertumpah ke pundaknya. Tapi, mengapa dia? Bukankah masih banyak pemuda yang lebih tangguh? Dengan dada bidang dan lengan baja? Penampilan rapi dan prestasi akademik yang luar biasa? Para domba rupanya mafhum, karena memang mereka telah diajarkan: Pemimpin tidak dilahirkan tetapi dididik. Yang rupanya menyalahi mitos the Birthright dalam teori Kepemimpinan yang menyatakan kebalikannya. Apakah domba-domba ini sudah sesat?

*

Jarak kedua golongan yang berbeda keyakinan tinggal sepanjang galah. Satu kelompok berpakaian kasual, berjas biru, berbandana bertopeng slayer. Mengepal-ngepalkan tinju ke atas berpekik: ”Revolusi!! Revolusi!! Revolusi!!”. Menuju kelompok lainnya yang berpakaian cokelat-cokelat, berperisai, bersenjatakan pentungan, bertopi. Merapatkan barisan mereka, memasang kuda-kuda dengan membentuk pagar manusia sambil menunggu perintah dari seseorang yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka.
Keduanya, sama-sama memperjuangkan kebenaran yang masing-masing mereka yakini. Mengapa kebenaran tidak bisa sinergi?

*

Jarak sudah terlampau dekat. Si kerempeng menghentikan langkahnya. Berteriak:
“Izinkan saya bertemu dengan anggota dewan di dalam! Kami ingin membuat beberapa kesepakatan!”

Suasana membisu, kelompok seragam cokelat-cokelat semakin mempererat barisan.

“Bapak-bapak yang budiman, izinkan saya bertemu dengan anggota dewan di dalam! Kami ingin membuat beberapa kesepakatan!”

Masih saja diam.
Melihat ini, pemuda-pemuda yang tidak sabaran mendorong teman yang ada di depannya. Seperti domino, yang depan akhirnya mendorong pemuda kerempeng ke arah bapak-bapak yang budiman. Karena kerempeng, dihempaskan tubuhnya kembali oleh perisai-perisai kaca. Domba-domba marah. Juru selamat mereka telah didzalimi. Serentak dari belakang mendorong sesama temannya ke depan. Kericuhan tumpah. Saling dorong terjadi. Domba-domba geram, diambilnya apa saja yang ada disekitar situ. Kerikil tajam maupun tumpul, bangku-bangku taman, botol, kalau perlu sepatu mereka sendiri, mereka lemparkan ke kelompok bapak-bapak yang sudah tidak budiman. Si kerempeng terjepit diantaranya.

“Hentikan saudara-saudara! Jangan bertindak anarkis!” “Hentikan!!”

Suara si kerempeng tenggelam di tengah riuhnya domba-domba yang murka. Memang, kalau marah, tidak ada lagi yang bisa didengar.

“Pukul mundur!”

Dari belakang pagar perisai terdengar suara lantang. Mungkin ini yang disebut sebagai komando, karena setelahnya bapak-bapak budiman mengangkat pentungannya. Menyabetkan secara membabi-buta ke orang-orang di depannya.

“Plak!” “Plok!”

“Bletak!”

Bapak-bapak yang sudah jadi biadab tambah maju. Kelompok domba-domba tercerai berai. Ketakutan kena sabet pentungan hitam. Mereka berlarian ketakutan, meninggalkan tubuh-tubuh yang berguguran kesakitan.
Lalu, dimana tokoh kita tadi? Pemuda kerempeng yang berperan sebagai juruselamat.
Dia terkapar, dengan jidat yang bersimbah darah. Amis. Telentang, mata terpejam, merintih. Tapi untung, dia masih bernafas.

**


Sebuah mobil sedan mewah meluncur menembus jalanan Ibukota. Ketika menemui kemacetan, mobil dibelokkan melewati samping kendaraan yang sedang mengantri. Tanpa ragu, mobil terus melaju.
Di persimpangan depan, sebuah mobil berwarna putih bergaris-garis biru terparkir. Mobil sedan terpaksa berhenti. Seorang bapak-bapak berpakaian cokelat-cokelat menghampiri. Berhenti, mengetuk kaca mobil, kemudian memberi hormat.
Kaca mobil dibuka.

- “Selamat pagi, Pak”

- “Bapak telah melanggar lalu lintas melewati bahu jalan”

+ “Maaf, Pak. Saya sedang buru-buru mengantar bos saya yang hendak pergi ke gedung dewan.”
Kaca mobil belakang terbuka. Seorang pria necis berkata.

# “Ada apa ini, Pak?” “Apakah Bapak tidak melihat plat mobil saya?”

- “Saya sudah melihatnya, Pak. Memang plat khusus. Tapi bapak tetap melanggar aturan lalu lintas karena jalanan sedang ramai begini”

# “Sudah, Din. Kasih saja” pria tadi menyuruh sopirnya.

Dikeluarkannya selembar uang biru.
+ “Maaf, Pak. Kami tidak bisa berlama-lama. Ini sebagai kompensasi dari kami”, seraya menyuguhkan uang tadi.

- “Saya sudah lama menjadi pengayom masyarakat, Pak. Berbagai kesatuan telah saya masuki. Saya bekerja hanya untuk bangsa”

# “Pak, saya mengerti. Saya juga sedang bekerja untuk bangsa dan negara. Saya berbuat begini, karena sedang terburu-buru. Sudahlah, terima ini. Ini ikhlas pemberian dari saya”

Pria necis menyodorkan tiga lembaran uang berwarna merah. Kali ini bapak berseragam cokelat-cokelat terdiam. Mengingat dapurnya yang harus mengepul. Menerima pemberian sesekali tak apalah. Toh, ini pemberian ikhlas, pikirnya. Dia mengambil uang itu, dengan memandang pria necis tadi. Matanya tertuju pada luka di dahi pria di depannya. Ingatannya terkuak. Ia mematut-matut orang yang ada di depannya dengan orang-orang yang pernah ditemuinya. Sepertinya tidak asing.

- “Baiklah,Pak. Lain kali mohon jangan diulangi. Terima kasih atas kebaikan Bapak.”
“Maaf, pernahkah kita bertemu?”

Pria necis berpikir. Memang sepertinya iya. Suatu waktu di masa lalunya. Tentang itu..
# “Sama-sama. Waktu terus berputar,Pak. Dan kita harus berpikir rasional”
“Pak, Revolusi telah mati”

Kaca mobil ditutup. Mobil dibelokkan mengambil tempat antara dua mobil yang berjarak. Melewati mobil patroli, kemudian berbelok lagi melewati bahu jalan menembus kemacetan Ibukota.


(diselesaikan hampir berbarengan dengan berhentinya Viva La Vida dari WMP-ku)

Sabtu, 06 Februari 2010

tulisan kedelapan

Tulisan ini hadir di tengah-tengah kegamangan saya untuk menulis. Gamang karena banyak sekali hal yang semestinya saya lakukan, tetapi saya belum bisa melakukan semuanya.
Saat diri ini kembali mengingat-ingat kejadian masa lampau, banyak hal yang bissa kita ambil dari pengalaman yang terjadi. Bermula dari situlah cerita ini dimulai.
Semoga, kehadirannya bisa mengembalikan semangat saya untuk terus bedinamisasi.
Selamat membaca!


BINTANG TERANG DI GALAKSI KITA


Kalau ada anak manusia yang bisa memperoleh impiannya dengan keterbatasan yang ada, mungkin itulah teman saya. Dan jika disebutkan, Indonesia adalah negara yang besar dengan berbagai macam suku dengan orang jawa sebagai suku terbanyak dan paling dominan, mungkin teman saya salah satunya. Bukan bermaksud rasis, karena memang di negeri ini didominasi oleh orang Jawa dengan profesi dari mulai akar rumput sampai pucuk pohon cemara. Boleh dikatakan, tidak merugi bangsa ini memiliki putra seperti dia yang dengan kemampuan berpikirnya bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di kancah internasional. Sehingga, paling tidak bangsa kita dapat menegakkan kepalanya dalam bidang akademis di depan bangsa-bangsa lain. Walaupun nantinya, bocah-bocah seperti teman saya tadi bersedia untuk tinggal bukan di Indonesia dan lebih memilih mencari ilmu dan pekerjaan di negara-negara lain. Bukan masalah nasionalisme atau patriotisme saya kira. Semua memang begitu adanya, adalah wajar apabila manusia mencari yang terbaik bagi kehidupannya.

Manusia adalah makhluk yang unik. Makhluk terunik yang pernah saya temui, paling tidak sampai saat ini. Makhluk yang senantiasa berkembang, bukan hanya dari segi fisik, akan tetapi dari segi pemikiran dan akal. Yang darinya bisa bersumber sesuatu yang maha dahsyat, yang berpengaruh tidak hanya kepada manusia tersebut, akan tetapi seluruh dunia ini. Sehingga tidak berlebihan apabila saya menyebutkan, MANUSIA BISA MENJADI APA SAJA. Seperti teman saya,Fahim, yang kebetulan dikaruniai otak yang cemerlang. Anak kampung yang belajar pada almamater yang sama dengan saya di tingkat Sekolah Menengah Atas. Anak yang suka merenung, sama seperti saya sebetulnya. Mungkin bedanya, dia merenungkan tentang permasalahan-permasalahan eksakta yang ia peroleh dalam kegiatan belajar-mengajar. Sedangkan saya, merenungkan kegiatan belajar-mengajar juga, tapi kebanyakan dibumbui oleh perenungan masalah hati atau masalah-masalah yang memang menarik perhatian bagi saya.

Seringkali kami berbincang dengannya dan beberapa teman yang lainnya di masjid sekolah kami. Karena kebetulan, kami tergabung dalam remaja masjid sewaktu itu. Cukup positif,bukan?

Selepas waktu dhuha di istirahat pertama, perbincangan kecil biasa terjadi. Perbincangan apa sih yang dilakukan oleh kebanyakan anak tingkat Sekolah Menengah Atas? Paling-paling tidak jauh dari masalah pelajaran, masalah dengan teman atau pengajar, dan masalah dengan lawan jenis. Tapi lebih dari itu, kami beberapa kali memperbincangkan masalah yang unik. Karena beberapa dari kami mempunyai kesenangan di bidang masing-masing. Dana, yang kebetulan tertarik dengan pelajaran Fisika saat itu selalu menceritakan ketertarikannya mengenai teori mekanika. Dari mulai Newton sampai Einstein. Walaupun bagi kami saat itu pemikiran-pemikiran Fisika Teori sangat asing, tapi kami tetap memikirkannya.

Ini akibat suatu kali pertanyaanku : “Untuk apa kita memikirkan itu semua, Dan? Kita belum punya kepentingan dengan hal itu. Marilah kita bahas hal-hal yang ringan saja. Seperti mengapa kemarin kau ketiduran di kelas?”

“Jangan begitu, Kawan.. Ini hal penting. Kita diberikan kesempatan untuk belajar dan bersyukurlah kita masih diberi kecukupan untuk menerimanya. Mungkin nanti kita tidak akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dasar kita, tapi tidak maukah otakmu terbiar begitu saja? Kasihan, Zal.. Dia perlu makanan, sebagaimana tubuh kita memerlukan nutrisi. Makanlah apa saja yang masuk ke otakmu, Zal. Serap.. Saripatikan.. Biarkan ia mencari jawaban kebenaran dalam alam bawah sadarmu. Seperti kata Einstein ketika ia kembali menyusun semua bukti-bukti yang ia kumpulkan dan selalu ia perhitungkan, ia mengatakan: Semua hanya untuk memenuhi kebutuhan berpikir saya”, “begitu,Zal”

Jawaban panjang yang membuat saya berpikir. Karena sebelumnya saya ingin mencemoohnya karena dia ketiduran di kelas. Tapi rupanya, inilah yang membukakan pikiran saya sewaktu itu bahwa memang sebuah ilmu, apapun, tidak ada salahnya untuk kita ketahui. Dalamnya banyak hikmah yang dapat kita ambil. Dan memang, ketika saya memikirkan suatu soal Fisika yang sulit saya pecahkan saya akan mengingatnya terus sampai terbawa mimpi dan paginya akan muncul suatu rancangan solusi dan setelah saya coba merangkainya, Viola!! Semuanya nyata. Boleh jadi, itu yang disebut ilham.

Setiap perbincangan ringan diantara kami, Fahim tidak banyak bersuara. Ia lebih senang berdiam diri sambil memperhatikan. Mungkin karena ia satu-satunya anak tingkat 1 yang ikut bergabung besama kami. Ya, Fahim 2 tahun di bawah saya dan teman-teman diskusi saya. Dia masuk ke almamater tercinta kami ketika saya naik kelas 3. Jangan heran apabila ia akrab dengan kami yang dua tingkat di atasnya. Rumah Fahim yang berada jauh di pelosok desa, serta ekonomi yang pas-pasan dari keluarganya membuatnya memikirkan berbagai macam cara agar terus dapat bersekolah tanpa terlalu membebani kedua orang tuanya yang bekerja sebagai petani garap di desanya.

Kebetulan, di Masjid sekolah kami terdapat sebuah ruangan mirip kamar di ujung sekretariat perkumpulan remaja masjid. Kamar yang cukup untuk tidur dan tempat baju serta keperluan sehari-hari. Dengan dibantu teman-teman remaja Masjid, akhirnya kami berhasil menjelaskan kepada Pembina Remaja Masjid agar Fahim dibolehkan untuk tinggal di kamar tersebut. Tapi tentunya dengan syarat; dia harus selalu tanggap terhadap kebersihan Masjid dan linkgungan sekitar. Sejak itulah, predikat James Bon disandang Fahim. Jaga Mesjid dan Kebon. Bukan merupakan suatu kenistaan saya kira. Justeru sebuah kemuliaan. Karena disamping kita telah meringankan beban orang tua, kita diberi kesempatan untuk terus berbuat baik untuk senantiasa membersihkan tempat ibadah kita.

Perkumpulan ba’da shalat dhuha kami sebenarnya tidak memiliki anggota yang tetap. Semuanya berjalan begitu saja. Setiap kali selesai melaksanakan ibadah sunnah dhuha, kami berkumpul begitu saja dan berbincang apa saja yang menarik hati kami saat itu. Tetapi, bila diukur dari seringnya wajah-wajah yang hadir, sekurang-kurangnya ada 5 anggota tetap ngerumpi ba’da dhuha. Fahim, Dana-yang saya ceritakan tadi, Ircham, Izaz, dan saya sendiri .

*

Bila dilihat dari sisi umur dan motivasi belajar kala itu, saya menemukan kesamaan antara kami. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang berkecukupan. Maksudnya, mempunyai uang yang benar-benar cukup untuk kehidupan sehari-hari, penghasilan orang tua yang benar-benar cukup untuk membiayai sekolah kami. serta "kecukupan-kecukupan” lainnya. Kecuali Izaz,mungkin. Yang kedua orang tuanya bekerja sebagai PNS guru. Kecukupan inilah, yang mau tidak mau membuat kita untuk tidak melewatkan kesempatan untuk mereguk setiap pengetahuan di sekeliling kami. Seperti ketika ada pengumuman untuk mengikuti Olimpiade Matematika yang diadakan oleh salah satu perguruan tinggi negeri di daerah Semarang kala saya menginjak tingkat tiga. Cukup terlambat sebenarnya, karena biasanya spesialis Olimpiade Sains sudah dipersiapkan sedari tingkat satu atau pertama kali masuk sekolah, seperti yang Fahim alami. Secara otomatis dia masuk kelas khusus untuk mengikuti pembinaan di luar jam sekolah. Tapi kali ini, berhubung beberapa dari kami dekat dengan Pembina Lomba, kami (Saya dan Ircham) ditawari untuk mengikutinya. Itung-itung untuk pengalaman, kata beliau. Dana kala itu sudah mengikuti kelas Olimpiade Fisika dan memang disanalah tempatnya. Kamipun menyanggupi dan mengikuti prakualifikasi tingkat sekolah. Waktu itu dalam satu kelas pembinaan Olimpiade ada lima belas anak dan kebijakan sekolah mengirimkan 6 wakilnya, termasuk tingkat tiga yang ikut sebagai peserta penggembira. Saya dan Ircham cuek saja. Dan hasilnya tidak cukup mengecewakan (pastinya, karena kami berdua sudah tingkat tiga, sedang kelima belas lainnya tingkat satu dan dua^^), kamipun mendapat tiket untuk berangkat ke kota Purwokerto, tempat perlombaan diadakan.

Dalam persiapan menghadapi Perlombaan saya cuek saja. Toh ada yang lebih perlu diperhatikan, yaitu kemana saya akan melanjutkan pendidikan setelah lulus nantinya. Beda dengan Fahim yang senantiasa merenung. Berkutat dengan soal-soal latihan yang ada di depannya. Sesekali pernah kami berkumpul di serambi Masjid untuk “menekuni soal latihan bersama”, ada beberapa soal (mungkin lebih bijak bila saya sebut banyak.haha) yang tidak dimengerti.

“Eh, ada yang tau penyelesaian soal cerita ini tidak?”, tanyaku pada Ircham, Fahim dan tiga orang temannya yang lain.

Kutunjukan soal cerita yang intinya adalah suatu kalimat yang mesti dikonversi ke dalam model matematika serta mencari pemecahan dari problem tadi. Sayangnya, saya sudah lupa sekarang detil soalnya.

Karena beberapa dari kami termasuk orang yang sudah mempunyai kualifikasi, tentunya sangat tidak elegan apabila tidak ada yang berpendapat barang sepatah dua patah angka.

“Em, coba kalau begini..” Ircham mencoba menunjukan sebuah paket penyelesaian bagiku. Seorang anak yang cukup di atas biasa. Karena waktu itu Ia justeru mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial ketimbang Ilmu Pengetahuan Alam kendati kemampuan di bidang eksakta-nya baik. Ia tak ingin membuang waktunya untuk belajar IPA, alasannya. Karena memang sudah fokus akan mengambil sebuah sekolah kedinasan di bidang akuntansi. Kelak ia akan satu almamater lagi dengan saya. Anehnya, Ia lulus dalam prakualifikasi Lomba Matematika ini.

“…tapi jadinya ga klop ya? Wahh..ndak ketemu hasilnyaaa… >_<”!@^&@#!!” dasar aneh, menjelaskan ke saya seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Itulah Ircham.

“Iya, tidak cocok juga kalo pake model matematika seperti itu..” saya mengamini keputus-asaan Ircham.

“Bagaimana kalau seperti ini, Mas?” Fahim menyodorkan secarik kertas berisi rumus-rumus integral, turunan, kombinasi trigonometri yang sebagian tidak familiar dengan mata saya. dan.. apa ini? Mengapa banyak simbol seperti cacing berdiri tegak sebanyak ini? Ada tiga berderet.. jangankan dua, satu saja saya masih kewalahan..

“hem..kelihatannya ini solusi yang mendekati kecocokan dengan problem yang disajikan, Him..” responku setelah ada tiga menitan aku memandangi kertas yang disodorkannya.

“Tapi,Him.. Bisakah kau menjelaskannya padaku??”, lanjutku, dengan menatapnya iba dan penuh dengan ketidakmengertian.

*

Ada seorang lagi yang belum kuceritakan, Izaz. Teman yang berasal dari luar kota kami. Yang dari segi kemampuan ekonomi cukup berada, karena saat itu dia satu-satunya siswa yang memegang kartu Automatic Teller Machine diantara kami sewaktu itu. Teman yang cukup eksentrik. Dengan cukuran rambut tipis pada kedua pinggirannya serta dibuat agak tegak rambut ditengah kepalanya. Izaz tinggal di rumah kost dekat dengan sekolah kami, sehingga seringkali pulang sore hari sekedar melihat saya, Ircham dan Fahim berkegiatan atau mengobrol dengan kami. Walaupun dalam hal akademis di kelas kurang begitu terlihat, tapi saya yakin, Izaz adalah anak yang cerdas. Kita tentu sering menemui seorang anak yang suka bermain dan malas untuk belajar tapi apabila ditanya tentang pelajaran tahu. Sebatas tau dan mengerti karena bagi orang-orang seperti mereka ada hal yang lebih menarik perhatian ketimbang pelajaran di sekolahan.

Satu hal yang menyamakan saya dengan Izaz adalah kesenangan untuk bermain tebak-tebakan. Saya saat itu sedang gemar-gemarnya membaca komik-komik detektif. Dari serial Detektif Conan, Kindaichi, Q Detective School, Q.E.D, sampai serial detektif yang sepotong-sepotong diterbitkan. Entah belum masuk ke Indonesia atau pengarang di Jepang sana masih kesulitan untuk mencari idenya. Keranjingan saya terhadap cerita detektif dan misteri dimulai dari Izaz yang setiap pulang sekolah menyempatkan mampir di sebuah tempat persewaan komik di depan sekolah kami. Suatu waktu, Ia mengajak saya untuk menemaninya. Saat itu, iseng saja saya meminjam komik salah satu serial detektif, dan semenjak itulah saya rutin menyisihkan uang jajan saya untuk meminjam komik di akhir pekan.

Salah satu mengapa saya mengatakan Izaz cerdas adalah saat kami berkumpul untuk bermain tebak-tebakan. Kebiasaan saya sewaktu itu apabila ada waktu luang adalah membuat soal tebak-tebakan. Masih teringat saat saya kembali menanyakan soal tebak-tebakan dari salah satu program di televisi yang menghadirkan Master mentalist Indonesia. Pikir saya, Izaz tinggal di kosan. Setau saya di kamarnya tidak ada televisi, Dana-pun begitu, sama-sama tinggal di kosan, Fahim tinggal di Masjid yang praktis tidak ada televisi. Tinggal Ircham yang mempunyai kemungkinan melihat acara televisi tersebut. Tetapi dengan pertimbangan kalau Ircham tidak senang menonton televisi karena Ia lebih suka membaca, saya tanyakan soal tebak-tebakan kepada teman-teman.

“Zaz, ada tebak-tebakan nih..”, ucap saya saat kami berkumpul di serambi Masjid.

“Apa itu, Zal?”,Izaz langsung menampakkan ketertarikannya.

“Jadi begini..”, dengan gaya serius saya melanjutkan “Ada 3 orang yang berkunjung ke sebuah restaurant untuk memesan paket hemat. Harga satu paketnya adalah Rp. 10.000,-. Karena mereka membeli tiga, mendapatkan potongan harga Rp 5.000,-“, saya diam sejenak melihat reaksi air muka mereka yang mulai serius.

“Karena mereka bertiga, uang Rp 5.000,- tadi tidak genap habis dibagi tiga. Akhirnya, dengan kesepakatan bersama, masing-masing mendapatkan kembalian Rp. 1000,-. Uang sejumlah Rp 2.000,- diberikan kepada pelayan sebagai tips.”

“Nah! Masalahnya ..”, saya buat agak didramatisasi, “seseorang dari mereka kembali menghitung uangnya. Jika mereka mendapatkan kembalian Rp 1.000,- berarti masing-masing membayar sejumlah Rp 9.000,- untuk makan mereka, sedangkan yang dipelayan Rp 2.000,- berarti total uang mereka Rp 29.000,-. Padahal iuran mereka terkumpul Rp 30.000,-. Kemanakah uang Rp 1.000,-??”, cukup puas saya melihat kernyitan-kernyitan di atas alis teman-teman, kecuali Izaz yang sedari tadi senyum-senyum.

“Bentar Zal, coba ulangi proses hilangnya uang Rp 1.000,- tadi”, Dana bertanya.

“Tadi ketiga orang tersebut mendapat kembalian Rp 1.000,-, berarti masing-masing orang mengeluarkan uang Rp 9.000. Betul?”

“Betul, Zal”

“Berarti bila dikalikan 3, uang yang terkumpul Rp 27.000,-. Betul?”

“Betul, Zal”

“Nah, uang yang lainnya, sejumlah Rp 2.000,- diberikan kepada pelayan sebagai tips. Ini berarti uang total yang mereka kumpulkan adalah Rp 27.000,- + Rp 2.000,- = Rp 29.000. Betul?”

“Iya.. Betul Juga yaa..”, Jawab dana sambil berpikir.

“Salaaahhh”, Izaz menyela sambil setengah ketawa. “Coba kau ulang sekali lagi, Zal”

Agak bosan sebenarnya saya mengulang untuk ketiga kalinya. Karena apabila diulang-ulang, kuis ini bisa dipecahkan. Tetapi karena teman-teman merajuk, saya memenuhi permintaan Izaz.

“Tiga orang tersebut mendapat kembalian Rp 1.000,-, berarti masing-masing orang mengeluarkan uang Rp 9.000,-“

“Benar”, sahut Izaz.

“Bila dikalikan 3, uang yang terkumpul Rp 27.000”

“Masih benar”

“Berarti uang yang terkumpul, Rp 27.000,- ditambah dengan Rp 2.000,- yang ada di pelayan, hanya Rp 29.000”

“Tidak benar! Hehehe.. Jangan kau bohongi temanmu ini, Zal”, sambil meringis Izaz menimpali. Suatu style yang khas darinya; terlihat cengengesan (ketawa dan tidak serius dalam berbicara)

“Sekarang begini, jika tiap orang mendapat kembalian Rp 1.000,- berarti total biaya yang dikeluarkan tiap orang Rp 9.000,-, bukan?“ Izaz balik bertanya, sial..

“Yaa..” saya jawab malas saja.

“Perhatikan teman-teman, TOTAL BIAYA. Ini berarti jumlah yang dikeluarkan untuk membeli makanan dan tips untuk pelayan”, dengan mata berbinar-binar Izaz menjelaskan “Jika ada pernyataan total biaya yang dikeluarkan oleh ketiga orang tadi sejumlah Rp 27.000,- ditambah Rp 2.000,-, maka itu salah. Kenapa? Karena Rp. 2.000,- itu termasuk dalam biaya 27.000 yang dibayar bertiga. Jadi total uang mereka bertiga yang benar, Rp 27.000,- ditambah dengan Rp 1.000 yang dikembalikan kepada masing-masing orang dikali 3. Tetap, Rp 30.000,-. Hehehe..“

“Bukan begitu, Zal?”

“Iya, betul..” tak disangka, Izaz bisa menjelaskan dengan baik.

“Benar, Zal. Bukan betul. Karena kita mencari kebenaran, bukan kebetulan”

Yah, begitulah Izaz.

*

Kembali kepada perlombaan matematika yang saya ikuti. Motivasi untuk mengikutinya tak lebih untuk sekedar mengetahui tingkat kemampuan saya dengan anak-anak pilihan ini. Serta merasakan aroma persaingan yang kental ketika saya mengikuti sebuah kompetisi. Akan sangat terasa atmosfernya. Beda dengan suasana saat ujian tengah semester atau akhir semester. Ada aroma yang tercium dari otak-otak para pemikir yang nantinya akan menjadi penampuk beban bangsa. Melihat mata-mata yang berkilat lincah, yang tajam memandang dengan mata telanjang atau yang tersembunyi di balik bingkai kaca mata karena terlalu banyak dipaksa untuk memahami bahan yang akan dimasukkan ke dalam otaknya.

Pertemuan antara tunas-tunas bangsa dimulai disini. Fahim, yang sudah kedua kalinya mengikuti perlombaan serupa tentunya sudah mempunyai kawan dari sekolah lain yang juga langganan lomba seperti ini. Saya yang sebagai penggembira disini ingin juga berkenalan dengan manusia-manusia pemikir disini. Sempat saya berkenalan dengan beberapa siswa lokal dan atau yang berasal dari luar kota. Salah satu yang berkesan ketika berkenalan dengan dengan kawan yang berasal dari salah satu sekolah favorit di kota satria itu, Sophia Alphabeta. Nama yang unik, seunik dirinya. Dengan wajah tirus serius dihias kacamata berbingkai hitam dan pandangan yang tajam. Mengisyaratkan banyaknya ilmu yang terserap melalui dua bola matanya. Sampai-sampai, ada kekaguman tersendiri terhadap dirinya yang membuat saya menemukan analogi Phi-Alpha, Everywhere and The First. Phi, bilangan yang senantiasa ada di alam semesta. Yang melekat pada penghitungan volume atau garis edar benda-benda angkasa. Dan Alpha, abjad pertama dalam huruf Yunani sebagai perlambang permulaan sebuah peristiwa. Phi, yang ada dimana-mana dan Alpha, yang pertama. Yang terbayang dimana-mana dan yang pertama saya ingat.. kala itu. Sebuah nama yang menurut khayalan saya waktu itu cocok untuk sebuah perkumpulan mahasiswa di Massachusetts Institute Of Technology. Sebuah Institut yang menjadi kebanggan Dana dan juga saya.

Boleh dikatakan, disinilah batu loncatan bagi Fahim untuk menggapai jenjang karirnya untuk terus menjadi pemikir sejati. Pengumuman hasil Lomba, menempatkan Fahim pada urutan nomor 3 yang waktu itu Ia baru menginjak tahun pertama di sekolah Menengah Atas. Dan jangan tanyakan bagaimana nasib saya dan Ircham, masih untung tidak finish di setengah bawah peringkat. Memang begitulah orang Jawa, segala sesuatu yang terjadi selalu dianggap menguntungkan.

*

Sebelum kelulusan, kami sempat berkumpul. Kutanyakan kepada Fahim tentang rencana hidupnya selepas SMA nanti.

“Berencana melanjutkan kemana Him setelah lulus?”

“Inginnya ke ITB mas, atau kalau tidak Universitas Indonesia”, jawab Fahim.

“Mengapa tidak kau pilih jalur kedinasan saja, Him? Disamping meringankan beban orang tua, setelah lulus kita tidak perlu repot mencari kerja.”, saran saya.

“Wah.. Maaf, Mas. Aku tidak tertarik dengan itu. Aku masih ingin mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan alam. Ingin mempelajari lebih dalam sunnah-sunnahNya, Mas.” jelas Fahim “Untuk masalah biaya, Aku yakin, akan selalu ada jalan bagi orang-orang yang berusaha. Bukankah hidup itu seperti mosaik?”, Fahim menanyakan kembali pernyataan yang pernah saya sampaikan kepada teman-teman saat berkumpul bersama.

“Benar, Him.. setiap langkah kita saat ini akan menentukan bentuk kehidupan kita setelah ini. Setiap kebaikan yang kauperbuat telah mengubah satu derajat kehidupan selanjutnya ke arah kebaikan.”

“Satu derajat saja, Him..”, saya melanjutkan, “Jika kamu memperhatikan, jarak yang terbentuk dari dua garis dengan panjang 10 sentimeter yang membentuk sudut satu derajat adalah 0,17 sentimeter, Him.”

“Itu baru sepuluh senti, Him.. Bagaimana jika panjang kedua garis tadi seratus meter atau beratus-ratus kilometer. Tentu simpangan yang terjadi akan semakin melebar dan panjang. Sama halnya dengan panjangnya kehidupan kita, Him. Belum terasa efek dari apa yang kita perbuat kemarin. Tetapi akan terasa betul kelak.”, agaknya saya terlalu berlebihan menjelaskan hal tersebut kepada pemegang medali perak internasional. Tapi memang begitulah terkadang saya, mengaitkan sesuatu dengan seuatu hal yang memang mempunyai suatu kaitan.

“Iya, Insya Allah akan terus berusaha melaksanakan yang terbaik pada kondisi apapun aku sekarang, Mas”, “mohon doanya dan semoga Allah menunjukkanku jalan yang terbaik”, ucap Fahim ssaat sebelum beranjak masuk ke kelas.

“Pasti, Him. Semoga jalanmu dimudahkan”, jawabku lirih.

Semenjak mewakili provinsi sebagai salah satu duta untuk mengikuti Olimpiade Sains Nasional, Fahim mendapatkan perlakuan khusus dari pihak sekolah. Mengikuti pembinaan bersama Guru yang sudah berpengalaman atau pengkonsentrasian untuk persiapan selama beberapa bulan di Ibukota membuat Fahim tidak berkumpul lagi dengan kami. Kesibukan-kesibukan tingkat tigapun melanda. Saya, Ircham, Izaz, dan Dana kembali harus memikirkan akan melanjutkan ke pendidikan formal manakah kita. Karena memang harus melalui pendidikan formal kemampuan kita akan diakui. Sebuah institusi untuk mendapatkan pengakuan yang legal dari institusi yang lebih besar dan plural, masyarakat. Kendati, untuk masuk ke dalamnya membutuhkan perjuangan yang berat. Yang menjadikan kedua orang tua kami harus memikirkan biaya tambahan yang lumayan besar, untuk ukuran kami saat itu. Terkecuali, Izaz, mungkin. Sehingga, kadang muncul dalam benak saya saat itu; dua hal yang mesti dihindari orang yang “berkecukupan”: Sakit dan Pendidikan Tinggi. Tapi setelah menjalaninya, saya meralatnya menjadi; Dua hal yang mesti dihindari orang yang tidak mempunyai tekad.

Tekadlah yang menjadikan kami memperoleh pencapaian kami. Saya dan Ircham berhasil masuk sebuah Sekolah Kedinasan yang tentunya sangat meringankan kedua orang tua kami. Dana mendapatkan paket beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya di bidang teknik pada sebuah Universitas Negeri. Sedang Izaz, yang masih dengan keunikannya melanjutan hobby berkreasinya dalam jurusan gambar-menggambar dan konstruksi bangunan.

Perjalanan sebuah galaksi pembelajar. Yang lahir dari sebuah ketiadaan. Kemudian membentuk kabut pemahaman dan membentuk individu-individu yang berkembang. Mengembang dan terus mengembang. Sampai batasnya nanti apabila diketemukan kembali oleh takdir atau harus fana karena sifatnya.

Tentang Fahim, berita keikutsertaan dia di International Mathematic Olympic saya dapat sewaktu saya kuliah. Penghargaan Honourable Mention pada kesempatan pertama dan medali perak pada kesempatan tahun berikutnya membuatku bangga. Karena ternyata bintang yang satu ini sangat bersinar terang sebagaimana Sirius, bintang terterang yang terlihat dari bumi setelah matahari yang berjarak 8,6 tahun cahaya dari bumi. Penghargaan ini membawanya mendapatkan beasiswa Strata Satu di Universitas Indonesia.

Jika mengingatnya, membuat saya kembali sepeti memiliki penyemangat untuk terus mencapai sebuah pencapaian yang sudah saya tentukan sebelumnya. Karena bagaimana kita sekarang, mengapa kita sekarang, apakah kita sekarang, kesemuanya berawal dari kita berbuat apa. Sering saya berpikir ,saat duduk di dalam kereta dalam kota yang terisi penuh sesak oleh penumpang, apakah yang menjadi tujuan dalam kepala mereka. Apakah ada hal yang sama, satu saja, yang mereka pikirkan saat itu sama dengan apa yang saya pikirkan saat itu juga. Ada yang bergelantungan di muka kereta dan depan pintu tanpa mempedulikan nyawanya. Ada yang duduk di atas atap kereta dibawah kawat bertegangan listrik luar biasa. Ada pula yang berjalan mengesot, mengusap-usap sampah di lantai kereta. Ada yang pura-pura tertidur ketika ada pengemis di depannya. Ada yang menempel-nempelkan badannya ke lawan jenis di sebelahnya dengan alasan,mengikuti irama kereta. Ada pula yang sempat-sempatnya memikirkan sedang apa mereka. Semua itu manusia, sebagaimana saya, makhluk yang bisa menjadi apa saja.

*

Kala itu, tiap bintang sudah mengalami fase membuat alam semestanya sendiri. Sebagaimana Matahari yang dikiblati delapan planet serta anggota keluarganya. Tiap bintang sudah mesti menentukan garis edarnya sendiri, agar tidak bertabrakan dengan semesta lainnya. Sudah saatnya menentukan hendak menjadi apakah kita, apakah bintang yang terus berpijar, yang tak kunjung padam. Atau terhempas menjadi komet yang habis terbakar di angkasa.

Akan tetapi, dalam perkembangan semesta yang kian mengembang, memungkinkan bintang tadi dapat bertemu dengan bintang lainnya yang membentuk galaksi baru. Galaksi pembelajar yang sama. Kendati manusia sudah bahu-membahu untuk menggali liang filsafat sampai kering, ilmu pengetahuan tidak pernah habis. Bukankah yang ada di dunia tidak lebih dari setiik ilmu-Nya yang sangat melimpah? Yang apabila pohon-pohon di muka bumi ini dijadikan sebagai pena dan air laut dijadikan tintanya, maka tak cukup ilmu pengetahuanNya yang dapat dituliskan.

Bintang tidak pernah mati. Meskipun dalam siklusnya ia akan termakn sendiri oleh massanya, kolaps, dan menjadi lubang hitam yang menyedot apa saja di sekitarnya. Tetaplah ia menjadi titik dari berputarnya semesta.

Berita terakhir yang saya dapat dari sebuah jejaring jagad lembar bertema jaringan sosial, Fahim sudah terbang ke Negeri Sakura. UI menjadi batu loncatannya. Entah bagaimana bintang yang satu ini akan menjalani siklusnya. Yang jelas, semuanya sudah tertulis dalam catatanNya. Saya, teman-teman saya dan kita.

(apabila ada kesamaan nama tokoh dan perwatakan hanyalah fiktif belaka)

Wet early February

onmidesk