tempat sementara untuk menuliskan kejadian yang berlangsung sementara dan dalam kita hidup di dunia yang sementara ini..

Senin, 28 Desember 2009

tulisan kedua

tulisan ini saya isneg buat ketika kuliah tingkat 2.
berlatar musim hujan dan banjir di daerah jakarta. kemudian ditambah ramainya proyek banjir kanal timur. jadi deh renungan saya yang kemudian dituliskan dalam tulisan berikut:


SEMOGA ESOK LEBIH BAIK


Aku benci air. Air yang coklat bercampur lumpur ditambah dengan hanyutan sampah-sampah dari sampah yang dibuang sembarangan. Betapa banyak bibit penyakit dan kotoran yang dibawanya. Belum lagi lumpur yang hanyut bersamanya; lengket, bau dan susah dibersihkan. Aku benci itu.
Begitulah kalau musim hujan turun. Sebuah malapetaka bagi kami yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung. Sebuah kali ciri khas dari kota terbesar di negeri ini. Bah, ciri khas.. sebuah ironi menurutku. Sebuah paradoks. Dimana disamping kami berdiri megah beton raksasa yang beratus-ratus meter dengan dana triliunan rupiah (semua itu duit). Sedang disini terdapat wajah pemukiman kumuh ilegal yang sewaktu-waktu siap digusur (kami heran, padahal sudah mendapat IMB) seperti teman-teman kami di kolong tol. Di sini para kaum marjinal hidup untuk menjadi babu, atau yang lebih rendah dari itu, di Negeri kami sendiri. Kadang terpikir olehku, apa maunya pemimpin kota ini. Mengurusi tata kota biar air tidak menggenang saja berpuluh-puluh tahun belum juga beres. Dulu, ada wacana bagus dari pemimpin kota ini untuk meneruskan warisan kolonial membangun kanal dalam rangka menanggulangi bencana banjir, proyek Banjir Kanal Timur mereka bilang. Tapi seperti tradisi di negeri ini, sangat bagus dan manis dalam perencanaan, akan tetapi buruk sekali dalam pelaksanaan. Pembebasan lahan penduduk yang dilalui proyek telah memanggil buaya-buaya untuk menggigit tiap potong uang kompensasi yang seharusnya menjadi hak penduduk. Tidak hanya di tingkat pembuat kebijakan, calo pun ikut serta main akal-akalan, diciptakanlah sertifikat tanah palsu yang pastinya membawa nama perangkat pemerintahan daerah, mulai dari RT, RW, camat dan kroninya. Tak heran bila kemudian proyek itu diubah nama: Bancakan Kanal Timur.
Aku sangat geram ketika diberitahu langsung salah satu dari calo. Ingin kujotos mukanya, kuambil lumpur kotor itu kemudian kujejalkan ke mulutnya yang kotor. Tapi, bukannya aku tak mau, aku tak bisa. Bagaimana lagi, dia ayahku sendiri.
Sempat terpikir olehku, kita merdeka terlalu cepat. Kenapa tidak menunggu BKT diselesaikan sebagaimana Banjir Kanal Barat dibuat oleh kaum kolonialis. Tapi tentunya kaum nasionalis akan menjotosiku jika mendengarnya.
^^x
Aneh kalau aku berinteraksi dengan teman-temanku disini. Mereka sering berkata, “Apaan sih lo! Bilang aku-kamu aku-kamu, jijay banget!”
Aku sempat bingung saat itu. Apa dosanya aku bilang aku-kamu kepada mereka. Setelahnya aku mengetahui bahwa kata aku-kamu di sini sangat sakral. Hanya digunakan untuk orang-orang yang mempunyai hubungan istimewa, seperti pacar atau keluarga. Cukuplah lo-gue di antara hubungan pertemanan. Aku terkadang heran, mereka produk anak muda metropolitan. Seakan kehilangan makna, apa sebenarnya tujuan hidup mereka. Mereka terjebak dalam kondisi yang ‘Apa yang seharusnya saya lakukan?’. Lihatlah jebakan-jebakan itu; materialisme, hedonisme dan vandalisme (oh, kenapa aku jadi kere gini=). Terkadang mereka mencari pelarian hanya untuk , katakanlah ‘hal-hal pribadi yang terlalu dibesar-besarkan’. Negara ini membutuhkan tenaga dan pikiran mereka untuk membangun bangsa, bukan untuk mendengarkan tangisan cengeng dan rengekan mereka. Pupuslah kata-kata pendiri bangsa ini; “Beri aku 10 pemuda, niscaya aku akan merubah bangsa”. Sangat ironis. Semoga mereka memahami itu. Tapi tentunya (lagi-lagi) kaum nasionalis akan menjotosiku jika mendengarnya.
^^x
Rasanya sudah berpuluh-puluh tahun, lama sekali aku tinggal di ibukota ini. Padahal baru 3 tahun yang lalu aku disuruh ibu untuk menyusul ayahku yang merantau sebelumnya. Hanya berbekal pengetahuan; Bang Djambrong, daerah operasi Ciliwung, aku temukan ayahku dengan mudah. Seorang “biro jasa” untuk berbagai macam urusan birokrasi. Mulai dari pembuatan KTP sampai sertifikan tanah palsu tadi. Heran, betapa baiknya birokrasi kita sampai-sampai menyediakan lahan penghidupan bagi orang lain yang tidak punya wewenang di dalamnya.
Aku benci pekerjaan ayahku. Mendingan aku mengorek-orek sampah untuk mencari benda-benda plastik dan benda daur ulang untuk dijual ke lapak-lapak di sekitar sini. Belakangan, aku mendapat pekerjaan yang cukup layak bagiku, dengan bekal ijazah SMA-ku, menjadi loper koran. Banyak sekali hal atau berita yang aku dapat dari setiap kolom koran yang kubaca. Aku suka koran!!
Sekarang, waktu sepertinya bergerak lebih cepat (sedikit). Kontrakku dengan agen koran hanya 1 tahun, sesudahnya menunggu baik-buruknya hasil kerjaku. Ternyata jika kita mengerjakan hal-hal yang menyenangkan waktu terasa begitu cepat. Hari demi hari bagi kaum kami (termasuk aku sebelum mendapat sedikit kesenangan) berlalu begitu lama. Kesusahan yang menghimpit kami membuat kami berpikir; “Kami harus hidup sejahtera!”. Akan tetapi harapan itu sangat susah digapai dan kami harus menunggu dan terus mencarinya. Lama.
Mungkin bagi mereka yang duduk di kursi kehormatan, para pengambil keputusan rakyat, masa jabatan 5 tahun berasa sangat cepat. Sehingga perlu dan berusaha untuk mendapatkannya kembali. Begitulah, waktu berlalu begitu cepat bagi mereka yang merasakan kesenangan. Entah, atau ini hanya pemikiranku saja. Aku teringat pada kata-kata ilmuwan terkenal (kalian jangan kaget, karena aku pernah mengenyam pendidikan SMA sampai tamat); “Bila Anda sedang jatuh cinta, satu jam akan terasa seperdetik. Bila anda duduk di atas sisa arang yang masih merah dan panas, sedetik serasa satu jam, itulah relativitas” (Albert Einstein). Ya, relativitas. Kebahagian-kesengsaraan di dunia kami.
^^x
Jangan tanyakan keadilan kepada kami. Karena pada dasarnya tidak ada hal yang adil di dunia ini. Walaupun begitu, semestinya kami berhak mendapatkan perlakuan yang layak sebagai warga negara. Dulu, ketika aku hendak berangkat menyusul ayahku, ibu berkata,”Hati-hatilah kamu disana Nak, kawan bisa menjadi lawan. Baik-baiklah kamu bersikap, tapi jangan terlalu baik-baik. Ibu kota itu kejam”. Ada benarnya perkataan ibu. Karena himpitan kesusahan, disini kami tidak mempedulikan siapa teman kita. Banyak pencopet, pengutil dan maling yang berkeliaran. Dalam bersikappun sudah semestinya kita proporsional. Karena jika sekali saja kita berbuat baik yang melebihi kewajaran kepada peminta-minta akan menjadi kebiasaan. Tapi, apakah ibukota itu kejam?? Agaknya aku kurang sependapat dengan ibu dalam hal ini. Mungkin karena ibu belum diberi kesempatan untuk menjajagi kota ini. Kota ini, sebagai benda mati, tentunya tidak bisa melakukan gerak aktif yang bisa mencelakakan kita, kecuali dengan kehendak-Nya. Kota ini hanyalah sebuah objek. Objek yang di dalamnya terdapat berbagai subjek yang beraneka ragam yang membuat, seolah-olah, objek itu hidup. Manusialah subjek itu, yang telah mempermak tatanan kota, yang melakukan aktivitas di dalamnya, yang melakukan kebaikan-keburukan di dalamnya. Sehingga memberikan persepsi yang berbeda-beda bagi subjek yang di dalamnya maupun bagi pengamat di luar objek (lagi-lagi relatif). Ibu, ibukota memang kejam. Tapi ibu lupa, atau mungkin belum tahu, siapa yang membuatnya kejam..
^^x
Sudah dua hari ini hujan mengguyur kota. Sesekali mereda, tapi datang lagi. Situ-situ, sungai-sungai dan tempat penampungan air hujan sudah terpenuhi dengan air. Sehingga genangan air kini turun ke jalanan. Menghambat laju transportasi dan perekonomian bangsa. “Bangsa? Separah itukah?”, temanku bertanya. Pastinya. Coba lihat jalanan yang menuju Bandara Internasional tergenang air yang menyebabkan penerbangan mesti ditunda. Bayangkan apabila ada persetujuan ekonomi Internasional yang harus segera ditandatangani. Bisa terlambat kan,, hehe, itu sok tauku saja.
Setelah kupikir, kita-masyarakat- juga salah. Sangat miris melihat tingkah laku masyarakat ibukota.membuang sampah brgitu saja di kali dan tempat-tempat yang mereka anggap tidak bertuan. Menggunakan fasilitas umum seenak mereka sendiri. Seakan tidak mengerti bahwa itu bukan miliknya, milik kita bersama. Harusnya kalau ada yang melihat seseorang merusak fasilitas publik dia punya hak menjotosnya, dan bilang; “Ini milikku juga!!”. Agaknya kita lebih mementingkan pembangunan fisik daripada pembangunan moral. Lihat saja, kota ini seperti hutan beton saja.
Setiap tahunnya beratus-ratus, atau bahkan beribu-ribu orang memasuki kota ini. Berharap agar mereka memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tapi untung tak dapat diraih, sial pun semakin mendekat. Kehadiran mereka disini justeru menambah beban permasalahan kota ini. Pengangguran yang merajalela, tingkat kriminalitas yang semakin meningkat, dan yang paling kubenci adalah gadis-gadis yang telah dibohongi dengan janji-janji manis untuk bekerja dengan gaji yang tinggi, ternyata dijadikan budak pemuas nafsu disini.
Aku sadar. Akupun bagian dari mereka. Tapi aku punya alasan lain. Aku datang kesini untuk menemui ayahku, walaupun kemudian aku kecewa. Dan aku telah mendapatkan pekerjaan. Bukan pengangguran seperti mereka. Ah, atau ini hanya pembelaanku saja.
Hidup ini mudah, tapi jangan dianggap mudah. Pun begitu, hidup ini sulit, tapi jangan dianggap sulit. Menurutku kita harus memandang realistis terhadap hidup ini. Apa adanya. Jangan mengeluh ketika kita mendapatkan kesusahan. Dan tidak usah berlebihan jika memperoleh kesenangan. Prinsipku, mengutip kata-kata seseorang, Berbuat dan berpikir positif pada kondisi apapun sekarang kita berdiri merupakan hal yang paling mungkin dan terbaik yang aku lakukan. Seperti saat ini. Aku harus tidur diatas tumpukan papan supaya tidak terendam air. Mencoba memejamkan mata dengan dingin yang menusuk tulang, serta berharap semoga esok lebih baik.
^^x

Tulisan Pertama

Tulisan ini, lebih tepatnya cerpen, saya buat ketika kelas 3 SMA. Waktu itu ada perlombaan menulis cerpen untuk memperingati HUT Proklamasi. Sebelumnya saya tidak tertarik untuk ikut. Akan tetapi saya diajak oleh teman saya, Wildan, untuk bepartisipasi di dalamnya.
Akhirnya, dengan persiapan seadanya saya menulis untuk pertama kalinya. Tulisan saya hanya ditulis tangan di dua lembar kertas folio (waktu itu ga punya kompie, apalagi kleptop.. :p), setelah jatuh tempo dikumpulkanlah naskah saya ke Guru Bahasa Indonesia, Pak Anang waktu itu..
Dan di luar harapan malah mendapatkan apresiasi yang bagus dari penilai-penilai yang ada..
Jadi ketagihan nulis..hehehe..
okay happy reading!!

MATI
“Buk! Buk! Buk!”, cangkulnya terus diayunkan menggali sepetak tanah berukuran 2 X 1 meter. Sesekali dia mengusap keringat yang sudah membasahi dahinya. Mata- hari sudah bergerak naik ke ubun – ubun kepala, tapi dia tidak mempedulikan teriknya mentari siang itu.
“Bapaaak! Makanan sudah siaaap!”, seorang anak perempuan berusia kira – kira sembilan tahun berteriak memanggilnya. Seketika itu juga cangkul diletakkan begitu saja di atas tanah. Ia bergegas menuju ke sebuah gubug yang berjarak 20 meter dari tempat itu
Seorang anak perempuan dan isterinya sudah menuggu di atas balai – balai yang terbuat dari bambu. Di atasnya tersaji nasi liwet, coel kangkung, ayam panggang dan sambal terasi.
“Wah, masak enak nih!”, puji orang itu pada isterinya.
“Alhamdulillah Pak, kebetulan kemarin siang ada penguburan dan Isyah dapat uang sawuran cukup banyak, cukup untuk menambah uang belanja”, kata istrinya menjelaskan.
“Gila kamu! Itu ‘kan uang setan!”, bentaknya pada pada isterinya.
“Cepat buang makanan ini ! Aku tak mau tahu kalau terjadi apa – apa dengan kalian”, dengan nada ngotot ia berbicara. Sambil marah – marah orang itu keluar dari gubugnya. Isterinya tertegun sebentar. Ia bisa memahami watak suaminya yang sangat percaya pada takhayul.
# #
Karto. Begitulah panggilannya di desa Patimuan. Sebetulnya perangainya cukup baik. Seorang pekerja keras. Tapi satu sifatnya yang buruk adalah percaya sekali pada takhayul. Ia juga menganut aliran kejawen. Delapan belas tahun lalu Karto menikah dengan gadis anak dari seorang kyai terkenal di desa Adipala. Tetapi orang tua dari gadis itu tidak menyetujui hubungan mereka dan mengusirnya dari desa Adipala. Tiga tahun setelah menikah, mereka baru dikaruniai seorang anak. Shomad, anak pertama mereka sedang menyelesaikan pendidikan agama Islam di Pondok Pesantren ‘Tebu Ireng”. Biaya hidup Shomad sudah ditanggung semuanya oleh kakak Siti, isterinya. Sedang Aisyah, gadis cilik berusia sembilan tahun itu terpaksa harus putus sekolah karena sudah tidak ada biaya lagi untuk melanjutkannya. Satu – satunya mata pencaharian Karto adalah menjadi tukang gali kubur. Sore hari ini ada penguburan dan siang hari ini Ia harus segera menyelesaikannya.
Dengan muka masam Karto kembali meneruskan pekerjaannya. Diambilnya cangkul yang ia letakkan tadi.
“Biarlah hari ini perutku keroncongan. Daripada makan dari uang setan”, gumamnya dalam hati. Karto teringat peristiwa sewaktu kecil ketika Ia menyaksikan sendiri adik lelakinya mendadak kejang – kejang sepulang dari memunguti uang sawuran di jalanan. Menurut analisis seorang mantri, diduga adiknya terserang tetanus karena terdapat luka terbuka di kaki adiknya. Tapi Ia tetap percaya bahwa kematian adiknya karena uang setan itu.
Sepetak tanah yang Ia gali hampir selesai. Pikirannya masih melayang memikirkan anak dan isterinya. Ia takut kalau – kalau terjadi sesuatu dengan isteri dan anaknya.
Walaupun sudah 17 tahun berprofesi sebagai penggali kubur, Karto belum me- ngerti juga tentang hakekat hidup dan mati. Menurut pendapatnya, orang cukup berbuat baik pada sesama. Pada malam Jum’at atau Selasa kliwon, Karto sering memberikan sesaji kepada kuburan keramat untuk mendapat berkah hidup.
Setelah dirasa cukup dalam, Karto menghentikan pekerjaannya. Dengan susah payah Ia naik ke atas permukaan tanah yang berjarak setengah meter di atasnya.
“Bereslah, pekerjaanku sudah kelar, kini tinggal menerima pembayarannya saja”, gumamnya puas dalam hati.
Karto bergegas menuju ke gubuknya, ingin melihat keadaan isteri dan anaknya apakah semua baik – baik saja. Tiba – tiba Karto menghentikan langkahnya Ia teringat cangkulnya masih tertinggal didalam liang yang baru saja diselesaikannya. Setengah berlari Karto menuju liang itu. Beberapa kali Ia harus meloncat menghindari batu – batu nisan di pekuburan. Karto menghentikan langkahnya. Dengan hati – hati Ia mencari pijakan tanah yang kuat untuk turun. Rupanya kali ini Karto kurang beruntung. Tanah yang Ia pijak longsor, tak kuat menahan beban tubuhnya. Karto kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung jatuh ke depan.
“Toloooong !” Karto berteriak sekerasnya. Ia melihat gagang pacul semakin dekat ke mukanya.
“Gedebug !” Terdengar bunyi benda berat berdebam jatuh ke tanah. Karto jatuh ke liang yang baru saja dibuatnya. Mukanya menimpa gagang pacul yang cukup keras.
# #
Karto membuka matanya. Ia sudah berada di suatu tempat yang belum dia kenal. Di depannya tampak pemandangan yang sangat mengerikan. Teriakan orang yang meminta tolong sangat memilukan hati.
“Tolooong ! Ampuuun ! Tobaat !”, suara orang yang disiksa sangat menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarnya.
Tetapi sosok tubuh yang menyiksa orang itu tidak mempedulikannya. Sebuah gada besar berduri tetap diayunkan ke tubuh orang itu sampai tubuh itu berubah bentuk: Jerangkong manusia. Karto mengamati sosok tubuh penyiksa di hadapannya. Badannya tinggi besar, kira – kira dua setengah meter tingginya. Memakai jubah hitam. Di tangannya terdapat beberapa senjata yang tak lazim digunakan.
Jerangkong manusia tadi berubah lagi menjadi sesosok manusia. Sosok tubuh ber- jubah hitam itu menyiramkan sejenis cairan panas ke kepala manusia tadi. Seketika itu juga kulit kepala dan wajah manusia tadi mengelupas. Yang tinggal kini hanyalah sosok manusia berkepala tengkorak. Karto menjerit dalam hati. Ia tak bisa membayangkan jika dirinya yang diperlakukan seperti itu. Karto segera berpaling dari pemandangan yang me- ngerikan tadi. Kini ia melihat seorang manusia yang sedang tidur nyenyak walaupun di sekitarnya terdengar berbagai jeritan dan siksaan yang memilukan hati. Muka manusia tadi berseri – seri memancarkan cahaya kesucian. Karto masih sibuk dengan berbagai keanehan yang dilihatnya di tempat itu.
“Tempat apa sebenarnya ini ?”, tanyanya dalam hati.
Karto tidak menyadari bahwa di sampingnya sudah berdiri dua sosok makhluk yang tidak dikenal. Kedua makhluk bertubuh besar itu menepuk bahu Karto. Karto kaget bukan main. Ia segera berpaling. Karto berusaha menjerit saat melihat kedua wajah yang berdiri di sampingnya. Wajah salah satu sosok itu separo wajah manusia dan selebihnya tengkorak. Bahkan sosok tubuh yang satunya berupa tengkorak dengan mata merah yang meman- dang nanar ke arah Karto.
“Tolooong !” Karto berteriak sekuatnya. Tetapi Ia tidak mendengar teriakannya sendiri. Mulutnya terkatup rapat seperti terkunci. Kedua sosok mengerikan yang memakai jubah
hitam itu maju ke depan Karto.
“Siapa namamu anak manusia ?”, tanya sosok berjubah hitam yang bsrwajah tengkorak. Suaranya menggelegar bagai halilintar yang menyambar – nyambar. Karto terdiam sebentar. Dibukanya mulutnya yang tadi kaku.
“Ka…Karto”, jawab Karto nyaris tak terdengar.
Suasana hening sebentar. Sosok tubuh berwajah setengah manusia mengeluarkan sema- cam kertas usang. Terlihat Ia mencatat jawaban Karto.
“Apa yang telah kamu perbuat selama di dunia ?” Suara yang sangat memekakan telinga itu terdengar lagi oleh Karto. Karto hendak menceritakan tentang kebaikannya selama ini tetapi lagi – lagi mulutnya tertutup rapat, sulit digerakkan.
“Kau tidak bisa berbohong di sini”, ucap sosok tubuh berjubah tadi. Tiba – tiba tangan kiri Karto bergerak – gerak dan mengeluarkan suara seperti bercerita.
“Dia adalah orang yang tidak beragama. Dia tidak punya Tuhan. Dia menggunakanku untuk menyembah kepada kuburan dan tempat keramat”, ucapan tangan itu sangat jelas. Melebihi ucapan bibir Karto tadi. Keringat dingin mulai mengucur deras di tubuh Karto.
“Apakah itu benar Karto ? “, tanya sosok tubuh berjubah tadi.
“I… Iya”, jawab Karto terbata – bata.
Memang itulah kenyataanya, walaupun isterinya selalu mengajak Karto untuk beribadah kepada Sang Pencipta dengan jalan Shalat dan puasa, Karto tidak menghiraukannya. Ia menganggap perbuatan itu konyol. Hanya menyusahkan dirinya saja. Sosok tubuh tadi melanjutkan bicaranya.
“Kalau begitu….. nasib kamu akan sama seperti orang itu”, sosok tubuh tadi menunjuk ke arah pemandangan mengerikan yang dilihat Karto tadi. Karto meneguk ludahnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana bentuk tubuhnya nanti.
“Nah, sekarang giliranmu, Rasakanlah !!” Sosok tubuh berjubah hitam itu mengangkat gada yang dibawanya. Kemudian dengan sekuat tenaga diayunkannya gada yang beruku- ran sebesar pohon kelapa itu ke kepala Karto.
“Tidaaaaaaaaaaakhkh !”
# #
“Istighfar pak, Nyebut !” Isteri Karto berusaha menenangkan tubuh suaminya yang meronta – ronta di atas balai – balai bambu. Di sekelilingnya beberapa tetangga ikut berusaha menenangkan tubuh Karto yang masih berontak kuat.
“Pak, istighfar, nyebut pak !”,sambil menangis isterinya kembali menenangkan.
“Isti… tighfar… Nye..but, buut, buut”, Karto mulai sadar, Ia menirukan apa yang diucapkan isterinya. Tetangga disekelilingnya sebenarnya ingin tertawa mendengar ucapan Karto. Tapi, ini bukanlah saat yang tepat mengingat kondisi Karto yang begitu payah.
Salah seorang tetangga Karto berusaha menyangga tubuh Karto agar bisa bersandar. Karto melongo melihat dirinya dikelilingi oleh tetangganya. Isterinya masih menangis di sisi Karto.
“Ada apa ini, Bu ?”tanya Karto kepada isterinya.
“Tiga hari tiga malam Bapak tidak sadarkan diri setelah jatuh di kuburan itu, pak”, Isterinya mencoba mengingatkan Karto.
“Dan syukur Alhamdulillah bapak sudah sadar, Isyah sudah menangis saja dari kemarin,” sambil mengusap – usap kepala anaknya istri Karto mencoba menjelaskan. Karto mulai ingat kejadian siang itu ketika tubuhnya jatuh terjembab di liang yang baru saja dibuatnya. Dan ia juga ingat setelah itu ia berada di suatu tempat yang aneh dengan dua makhluk yang menyeramkan. Sekarang tahu – tahu ia sudah berada di rumahnya dikelilingi oleh tetangganya. Karto masih merasa bingung dengan kejadian yang ia alami.
“Ini …..Pak Jaka dan kawan – kawannya yang sudah menolong bapak sore itu,” istri Karto menunjuk tiga orang yang berdiri di depan Karto. Kepala ketiga orang itu mengangguk – angguk.
“Wah, Pak Jaka terima kasih banyak atas bantuannya,” ucap Karto
Ketiga orang itu tersenyum. Tak lama kemudian tetangga Karto berpamitan. Tak lupa Karto mengucapkan terima kasih kepada tetangganya.
# #
Hari – hari setelah kejadian itu, Karto banyak melamun. Pikirannya masih melayang – layang memikirkan apa yang telah dialaminya. Seringkali Siti menasehati suaminya yang sedang bingung itu. Kali ini nasehat istrinya benar – benar dipikirkannya.
“Mungkin selama ini benar juga ucapan istrikku,” ucap Karto dalam hati.
Haripun makin larut malam, Karto masih juga melamun di depan jendela kamarnya. Pandangannya tertuju bebas ka arah pekuburan yang gelap mencekam. Dari kejauhan terlihat batu – batu nisan yang tampak seperti hantu – hantu kuburan. Tapi tunggu dulu, ada sosok tubuh berjubah hitam berdiri di tengah pekuburan. Sosok itu berwajah tengkorak dengan mata memerah yang memandang nanar ke arah Karto. Senyumnya menyeringai menampakan kengerian yang luar biasa. Ya, persis seperti yang dilihat Karto saat dia mati suri. Sosok berjubah hitam itu melambaikan tangannya ke arah Karto. Karto bergidik. Sosok tubuh itu menjauh dari pandangan Karto. Lama – kelamaan sosok tubuh berjubah hitam itu jauh menghilang ditelan gelapnya malam di pekuburan.


yah, namanya saja tulisan pertama.. agak kurang di alur dan keutuhan bahasa.. :p

Tentang Blog Ini

Blog ini saya buat untuk menampung beberapa tulisan-tulisan saya sebelumnya yang tidak terangkum dalam media pempublishan secara umum.
Tulisan-tulisan kita menjadi sejarah bagi perjalanan hidup kita. sebuah tulisan pada saat-saat tertentu menunjukkan perkembangan pemikiran kita pada saat itu serta pengaruh apa saja yang telah kita dapatkan selama ini dari lingkungan kita.
Tentang makna yang terkandung di dalamnya, sama seperti halnya puisi, ada makna yang secara nampak disebutkan langsung atau makna tersirat yang hanya penulis atau orang-orang yang mempunyai perasaan yang sama pada waktu itu yang dapat menangkap maksudnya.

Sebuah tulisan, apapun itu, merupakan sebuah jejak sejarah seseorang. Dan darinya dapat diambil hikmah. Begitupun dengan ilmu, yang senantiasa harus kita sempurnakan dan dapatkan hikmahnya. Untuk itu, marilah kita menjadi makhluk pembelajar. Yang dengan kesadarannya menyadari bahwasannya apa-apa yang terjadi di alam semesta ini ada penyebabnya. Dan apa atau siapa di balik ini semua yang semestinya kita ketahui..

Hehehe, susah kalau menulis bahasa terlalu formal.. :p
okay.. selamat membaca, silahkan tinggalkan komen untuk tulisan-tulisan saya. akan tetapi, mungkin saran tersebut tidak akan mengubah tulisan saya yang sudah ada. semua saran akaan saya masukkan untuk tulisan selanjutnya..
Happy reading!! :)