tentative

tempat sementara untuk menuliskan kejadian yang berlangsung sementara dan dalam kita hidup di dunia yang sementara ini..

Selasa, 11 Mei 2010

FIKSIMINI

MONGGO
Muliya sudah hampir satu tahun tinggal di kota semarang. Baginya kota semarang sangat menarik dibanding kota asalnya, Jakarta. Suatu ketika, ia melepas lelah di warung rujak dan memesan satu porsi.
“Buahnya lengkap, Mas?”, tanya penjual.
“Mangga mawon..”, jawab Muliya santai.
Lalu terhidanglah satu piring rujak yang berisi hanya potongan buah mangga. Muliya bingung.


MANUSIA KUAT
Adi sedang bertugas di pedalaman Papua dan sangat heran ketika melihat suku pedalaman tidur hanya dengan memakai pakaian yang menutupi bagian vital tubuhnya. Ia berpikir, manusia Indonesia sebenarnya kuat-kuat. Iapun melakukan hal yang sama untuk menghormati kepala suku. Keesokan harinya matanya layu dan tubuhnya penuh dengan bentol-bentol. Iapun berujar, manusia Indonesia memang kuat-kuat menahan gigitan nyamuk dan serangga.


PEMICU GEMPA
Futa sedang asyik-asyiknya membaca novel detektif ketika tiba-tiba gempa yang cukup keras menyentakkannya dari dipan. Ia lantas teringat pidato Menteri Komunikasi dan Informasi di Sumatra Barat beberapa waktu silam. Benar saja, ternyata membaca novel dapat menyebabkan gempa.


PATEN
Fuku adalah penulis yang hebat, sayangnya ia sering menulis cerpennya di catatan facebook-nya. Setelah mengetahui salah satu cerpennya dimuat di media nasional, buru-buru ia pergi ke kantor perwakilan Facebook Indonesia untuk mematenkan cerpennya.


KHAYALAN
Di sesorean yang mendung ini, vigor tersenyum sendiri menatap layar ponsel di depannya yang menampilkan pesan dari Kekasih Hatinya setahun lalu. seharusnya aku bisa lebih sopan.jadi kepikiran.aku minta maaf.jgn trsinggung. sejujurnya, aku kikuk.


AMAL
Ketika ada promo amal penjualan buku untuk bantuan kemanusiaan, semua orang antusias mengikutinya. Beli satu dapat dua untuk pembelian buku khusus dan Rp. 500,- dari pembelian akan disumbangkan untuk anak jalanan. Gina mengambil satu buku dan menuju ke kasir.
“Kenapa cuma satu,mba?”, petugas kasir bingung.
“Buku yang satunya saya sumbangkan ke anak jalanan.”, sambil menambahkan uang Rp. 500 ke atas meja kasir.


MAKHLUK HEBAT
Bagi Deni, belum ada makhluk yang lebih hebat daripada kucing tetangganya yang telah melahirkan 12 anak dalam waktu dua bulan!!


KLIMAKS
Sebenarnya sudah dua kali Rena menonton film Iron Man 2. Tapi kali ini, walaupun capek sepulang bekerja, ia tetap bersikeras menonton untuk ketiga kalinya. Ketika film sudah mulai diputar ia berpesan kepada teman disampingnya, “tolong bangunkan aku saat Iron Man sudah mengalahkan musuh-musuhnya dan berada di atap gedung bersama Pepper Potts”.


BELATED LOVE
Ika baru saja menikah. Di malam pertamanya ia berbincang dengan suaminya.
“Mas, apakah kau mencintaiku?”, tanya Ika tulus.
“Dear, mengapa masih kautanyakan pertanyaan bodoh itu? Kalau aku tidak mencintaimu, tentu kita tidak menikah sekarang.”, jawabnya bersungut-sungut.


CRAFTY PUPIL :D
Di antara murid SMP N 1 Cilacap, Praba termasuk murid yang cerdas.
“Anak-anak, dalam menjawab soal ujian, tidak usah menjawab panjang lebar akan tetapi tidak merujuk kepada jawaban. Cukup singkat saja tapi jelas. Yang penting kualitas, bukan kuantitas”, jelas Ibu Guru Haryanti suatu waktu. Praba-pun mengangguk-angguk tanda faham.

Besok akan diadakan pengumpulan baju bekas untuk disumbangkan kepada anak-anak jalanan. Dan dihimbau para murid mengumpulkan baju-baju yang sudah tidak terpakainya akan tetapi yang masih layak pakai dan baik. “Semakin kita memberikan benda berharga kita, semakin besar pengorbanan kita dan ssemakin besar pahala yang mungkin didapat.”, jelas ketua kelas.
Esoknya, dilakukan pengumpulan. Praba menyerahkan rok putih berrgambar hello kity kesayangannya sewaktu kelas 3 SD, dan sampai sekarang menjadi barang favoritnya meski sudah berubah kekuning-kuningan.
“Ini saja?”, tanya Ibu Guru heran.
“Ini masalah kualitas,Bu. Bukan kuantitas.”, jawab Praba mantap.


CORE COMPETENCE
Setelah menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Teknik Sipil selama 6 tahun dan kini diterima sebagai staf Accounting di sebuah perusahaan Leasing, Arif menyadari seharusnya dahulu ia mengambil jurusan Akuntansi.


CINTA ITU BUTA
Cholis adalah pemuda bodoh. Bagaimana bisa ia tidak mengetahui kalau perempuan yang suka membaca ceritanya sangat mencintainya.

Selasa, 09 Maret 2010

tulisan kesepuluh

Mba..



Aku masih ingat betul, Mba. Tentang kata-katamu yang penuh dengan nasihat dan perkataan bijak, Mba. Yang masih kusimpan di temporary memory otakku, Mba. Saat itu dimana aku masih menjadi manusia yang baru mengenal hidup seperlima abad, Mba. Kita bertemu dalam riuhnya jejaring jagad lembar , Mba. Pertama kumenyapamu, Mba. Karena aku sedang mencari, sebagaimana yang sedang engkau cari, Mba. Kulihat, engkau begitu lihai menceritakan tentang hidup, Mba. Sehingga kuberanikan diri untuk mengenalmu, Mba. Dari mulai berbalas surat elektronik, Mba. Sampai akhirnya kauberikan nomor ponselmu, Mba. Bukan untuk yang lain, Mba. Untuk lebih bersama-sama memahami hidup, Mba. Itu katamu, Mba.

Dulu aku sempat bingung, Mba. Apa panggilan untuk namamu yang terlihat kelelaki-lelakian, Mba. Sempat kita berkonfrontir sebentar, Mba. Tapi itulah bumbu dalam tiap obrolan kita, Mba. Berbagai kata ganti telah kita pakai, Mba. Semua tergantung jenis topik yang sedang kita bicarakan, Mba. Adakalanya aku ragu, Mba. Benarkah ini engkau yang kukenal? Karena kadang engkau bergejolak membicarakan perjuangan, Mba. Tapi terkadang pula engkau menjadi wanita, seperti kebanyakan orang, Mba. Dulu kau bilang begini mba, “hmmmmm kamu lucu... kelihatan sekali kalau lagi
mencari, aku juga mencari, masa pencarianku ga akan berhenti kecuali aku mati, mencari kebenaran, mencari Tuhan, mencari cara untuk mempersembahkan penghambaan terbaik padaNya, dengan menyeret beribu luka sekalipun, dengan merangkul berbagai tantangan, dan bersahabaat dengan segala ujian, terkadang letih, maka harus berhenti sejenak merenungi segala yang telah dilewati, meyakinkan diri telah berubah. jangan pernah berubah, kecuali menjadi lebih baik...tetaplah meningkatkan amunisi, dan memperkuat benteng diri dengan amalan keseharian dalam berbagai refleksi pengabdian keilahian, dengan penghambaan, seperti yang ditunjukkan alQur'an dan Al Hadits, meski terkadang tetap syetan membisikkan goda dan menyeret kita pada kefuturan, damn the evil!
salam jihad.....jangan pernah meninggikan ekspektasimu pada manusia atau keadaan, sandarkan segala ekspektasimu hanya padaNya seidealis apapun, karena hanya Dia yang mampu...dan spirit kita tentunya, jangan lupa juga faith...
keyakinan bisa jadi motor atas segalanya, dan sangat menentukan hasil akhir
man jadda wa jadda -barang siapa bersungguh-sungguh...dia akan berhasil”

Benar, mba. Setiap manusia melalui tahap pencarian itu, Mba. Dan benar juga, Mba. Masa pencarian itu akan berakhir kala kita mati.

Satu lagi yang bisa kuingat, Mba. Tentang sikapmu yang kadang meninggi dan temperamental, Mba. Kalau tidak salah, engkau menyebutnya rebellist, Mba. Entah apa maksudmu sebenarnya kala itu, Mba. Tapi aku mafhum, Mba. Engkau yang lekat dengan kegiatan-kegiatan ekstraparlementer, Mba. Yang mungkin sudah mengubah cara pandang dan pola pikirmu terhadap hidup, Mba. Karena memang, Mba, apa yang kita serap, itulah yang kita keluarkan, Mba. Saat itu aku ingin mengundang seorang pembicara untuk kegiatan kampus, Mba. Engkau menyarankan agar dosen lokal saja, Mba. Tapi kupikir, itu tidak menjual, Mba. Lantas, ingatkah yang kau katakan, Mba? “kasian kalo gitu kampus lu malah jadi sarang kapitalis dan isinya orang2 pragmatis--rekrutmen pencukongan gaya baru--mencari kemapanan hidup, wajar aja ga ada dosen berkualitas, yang diajarin hal2 teknis doang ya??kan lu abis lulus juga jadi pegawai bayaran di kantor2 pemerintahan gitu??

Sekali lagi, aku kurang paham dengan perkataanmu saat itu, Mba. Engkau berkata pada konteks yang engkau pahami, bukan pada konteksku saat itu, Mba. Aku tidak habis pikir, Mba. Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiranmu, Mba. Tapi lagi-lagi aku mafhum, Mba. Engkau seorang pemimpin pergerakan, Mba. Yang pria-pun tak sembarang bisa menampuknya. Aku sadar, Mba. Engkau punya prinsip dan batasan-batasan tersendiri untuk menjadi manusia. Sebagaimana manusia kebanyakan, Mba. Yang menjadikan suatu itu benar atau salah, Mba.

Rasa-rasanya, apa-apa yang kita diskusikan berujung kepada ketidaksepakatan,Mba. Entah itu sebagai cara agar kita bisa melanjutkan ke dalam pembicaraan berikutnya atau memang ego yang muncul dari masing-masing kita, Mba. Karena memang, Mba, yang kita bicarakan adalah hal-hal yang normatif, Mba. Yang bisa saja benar menurut pandangan masing-masing kita, Mba. Atau karena memang kedangkalan ilmuku, Mba. Bukan ilmumu, Mba. Karena kuyakin, engkau lebih paham dariku dalam berbagai hal, Mba. Seharusnya sampai saat ini kita masih bisa berdiskusi dengan sehat, Mba. Tidak usahlah dahulu kita melibatkan rasa, Mba. Maksudku begini, Mba, kita semestinya profesional, Mba. Berbicara dan berbagi hanya kepada apa yang kita bahas, Mba. Tak kurang, tak lebih. Tapi rupanya manusia punya banyak tipu daya, Mba. Dan kadang memang, Mba, manusia bisa menjadi makhluk yang mulia, bisa saja menjadi makhluk silap yang berkubang hina, Mba.

Aku merasa ada yang aneh di tiap diskusi kita, Mba. Dan mungkin kau merasakannya. Begini, jika engkau perhatikan, kita menggunakan bahasa sarkasme dan kelewat tinggi, Mba. Yang kadang kau atau aku sendiri kurang faham terhadp maksudnya. Dan terpikirkah, Mba? Itulah guyonan yang sangat tidak berguna dan hanya meninggikan diri sendiri saja, Mba. Puncaknya, Mba. Ketika kutanyakan maksud dari penulisan namaku dalam kontak surat elektronikmu, aku terheran-heran, Mba. Apa maksudmu dengan memberikan embel-embel kata posesif di depan namaku, Mba?

Apakah hanya sebuah penekanan terhadap perbedaan umur, karena engkau di atasku, Mba. Atau ada maksud lain, yang sampai sekarang tidak aku mengerti, Mba. Aku hanya bertanya satu hal saat itu, Mba: Apa maksudnya? Tapi, ingatkah apa yang engkau sampaikan setelahnya, Mba? Engkau berpikir aku telah menodai sebuah prinsip diskusi dan perjuangan, Mba. Engkau beranggapan aku sudah mengharapkan hal-hal tabu, Mba. Jujur saja, Mba. Saat itu tidak ada pemikiran yang terlintas mengenai kemungkinan itu. Tapi rupanya lingkungan-lah yang beperan terhadap pembentukan karakter ita, Mba. Sampai akhirnya kausampaikan-entah sebuah nasehat atau perpisahan-: ” ga pernah kutemui sesuatu apapun yang tersia yang dilakukan berdasar kefahaman. kecuali melihat sesuatu dari persepsi paradigmatis yang
dangkal dan sempit/ picik. dan hanya orang kerdil yang melihatnya demikian. Terima kasih atas perbincangan selama ini, hal ini telah menyadarkan memang tidak berguna berbicara dengan seorang yang memandang secara dangkal. Ini akan jadi yang terakhir, tanpa niatan di hati untuk memutus ukhuwah, biarlah jadi sesuatu untuk diambil hikmahnya saja..”

Entah aku yang tidak bisa menggapai pemikiranmu, Mba. Atau memang benar saat itu aku bepikiran picik, Mba. Tapi yang jelas, aku menghargai sebuah pemikiran orang, Mba. Boleh jadi engkau benar, Mba. Ada baiknya kita akhiri perdebatan yang tidak berujung ini, Mba. Karena kita sama-sama mencari pembelaan diri, Mba. Biarlah nantinya waktu yang akan mengajari kita, Mba. Karena seperti yang pernah kau ucapkan, Mba. Bahwasanya pembelajaran akan kita temui sepanjang kita masih menghembuskan nafas kita. Dan janganlah sekali-kali berhenti, sebelum salah satu kaki ini menapak ke Surga. Itu akan kuingat, Mba.

Biarlah ini sebagai salah satu peristiwa pembelajaran kita dalam hidup, Mba. Sebuah mosaik yang merangkai laju kehidupan kita sampai saat ini, Mba.

Kutulis surat ini, Mba, sebagai evaluasi diri, Mba. Ternyata aku tidak banyak berubah kepada hal yang lebih baik, Mba. Asumsi-asumsi yang engkau sampaikan dulu ternyata memang terjadi, Mba. Disinilah nurani menjadi muara untuk menguji, Mba. Mau jadi makhluk mulia, atau makhluk hina, Mba.

Walaupun kini sama sekali aku tidak mengetahui rimbamu, Mba. Tapi aku yakin engkau sudah menjadi manusia yang lebih baik dan paripurna, Mba. Tidak berlebihan, Mba. Tapi memang itu kenyataannya.

Biarlah nantinya kertas ini kumasukkan ke dalam botol lalu kularungkan ke samudera biar dihanyutkan oleh gelinjang ombak, Mba. Siapa tau akan mengantarkannya kepadamu yang mungkin sekarang sudah berada di negeri seberang seperti cita-citamu, Mba. Atau, nanti kulayangkan bersama merpati, Mba. Merpati khusus yang kutangkap dari taman kota dan kuikatkan begitu saja di kakinya. Sehingga, apabila kebetulan engkau melapor ke ibukota, engkau dapat menjangkaunya, Mba.

Baiklah, Mba. Semoga Allah senantiasa melindungimu dan memudahkan perjalanan hidupmu.

Salam.

Sabtu, 20 Februari 2010

tulisan kesembilan

Tuisanku kali ini, ingin mengenang kembali beberapa hal yang telah kuperbuat sewaktu kuliah.

Ya, hidup teru berputar, dan kadang kita harus menyikapinya secara rasional. Happy reading!! ^^

Revolusi Telah Mati


Jalanan berdebu. Matahari bersinar terik. Asap kendaraan mengepul di sana-sini dari knalpot kendaraan bobrok. Di atas panggung soundsystem yang ditumpuk di atas mobil pick-up seseorang bertubuh kerempeng berteriak-teriak, meradang, mereguk-redam, meneriakkan kepada orang yang nuraninya masih peduli. Sesekali teriakan semboyan membahana dari tenggorokannya yang kering. Yang sehari-hari mungkin hanya terisi nasi berlauk ikan teri dan segelas air putih dari warung tegal. Teriakan semboyan membikin teman-temannya bergoyang. Mereka menggumam-nggumamkan syair perjuangan sambil berpegangan tangan. Menggerakkan badan ke kanan-kiri secara berirama. Sesekali, anak muda yang terlalu bersemangat mendorong teman yang ada di depannya, yang secara otomatis, mendorong satu teman di depannya lagi. Seperti domino. Yang terdepanlah yang harus berhadapan dengan orang-orang berpakaian coklat-coklat yang membawa perisai dan bersenjatakan pentungan, seperti di film-film india.

*

Matahari semakin terik. Jalanan sudah tidak begitu berdebu lagi. Tidak ada kendaraan yang lewat. Diblokir. Slayer putih sudah dipasangkan menutup separuh muka mereka. Yang lebih panjang lagi, berwarna merah putih, diikatkan di kepala. Sebagai bandana, seperti di film-film Jepang. Si kerempeng melompat turun dari singgasananya. Disambut pekikan “Hidup rakyat Indonesia”!
Si kerempeng kini berembug bersama beberapa teman-temannya. Berkumpul.

- “Kita harus bisa masuk ke gedung ini”

+ “Tidak bisa, pintu gerbang dijaga ketat”

- “Kita ada berapa?”

+ “Paling tidak, sekitar 150 orang saja”

- “Kita ada berapa??”

# “Sekitar 158 orang mungkin tepatnya..”

- “Kita ada berapa!!”

+ “…..”

# “….”

- “Bersama kita seluruh rakyat Indonesia yang telah terenggut kemerdekaannya! Bersama kita orang-orang yang teraniaya dan tidak berani bersuara! Kita bukan seperti mereka yang tidak bisa seperti kita dan lebih memilih mengintip dari sudut jendela! Berapa kita? Ribuan!! Beribu-ribu rakyat yang tidak menerima keadilan!! Berapa kita?? Jutaan!!! Berjuta rakyat yang menjadi budak di negeri sendiri dan termarjinalkan!! Mari bersama, kita bisa!!”

- “Berapa kita?”

+ “Ribuan!!”

- “Bukan. Berapa kita??!!”

#+ “Jutaan!!”

- “Mari kita bergerak!! Hidup rakyat Indonesia!!”

“Hidup rakyat Indonesia!!!!”

*

Di sudut gedung seseorang berkacamata hitam tengah berbicara dengan seseorang yang berseragam cokelat-cokelat.

- “Mereka sudah kelewatan”

+ “Cih, mahasiswa yang kurang kerjaan. Mau makan apa mereka nantinya”

- “Itu sudah kelewatan. Mereka bergerak menerobos pasukan pembatas”

+ “Coba saja, kalau mereka mau pulang dengan cacat”

- “Sudah, hentikan, jangan biarkan sejengkal-pun mereka masuk. Jika berani, habisi”

+ “Pasti, tuan. Silahkan kembali saja ke dalam, membahas kebijakan bersama teman-teman anda”


Blip! Walkie-talkie diambil dari ikat pinggang.

+ “Sersan Joko, over’

# “Sersan Joko Siap!”

+ “Bereskan mereka. Melawan, habisi”

# “Siap. Laksanakan!”

*

Pemuda kerempeng berjalan di depan disertai jutaan pengikut di belakangnya. Bak penggembala domba yang sedang menuntun gembalanya agar tidak tersesat. Para dombapun mengikuti dengan mantap. Dengan mata nyalang yang terisi ideologi perjuangan. Walaupun mereka sendiri merasa seperti domba, dalam hati mereka berkata: “Kami bukanlah domba-domba yang tersesat”.
Sang pemuda kerempeng kini menjelma menjadi juru penyelamat. Seluruh beban bangsa seolah tertumpah ke pundaknya. Tapi, mengapa dia? Bukankah masih banyak pemuda yang lebih tangguh? Dengan dada bidang dan lengan baja? Penampilan rapi dan prestasi akademik yang luar biasa? Para domba rupanya mafhum, karena memang mereka telah diajarkan: Pemimpin tidak dilahirkan tetapi dididik. Yang rupanya menyalahi mitos the Birthright dalam teori Kepemimpinan yang menyatakan kebalikannya. Apakah domba-domba ini sudah sesat?

*

Jarak kedua golongan yang berbeda keyakinan tinggal sepanjang galah. Satu kelompok berpakaian kasual, berjas biru, berbandana bertopeng slayer. Mengepal-ngepalkan tinju ke atas berpekik: ”Revolusi!! Revolusi!! Revolusi!!”. Menuju kelompok lainnya yang berpakaian cokelat-cokelat, berperisai, bersenjatakan pentungan, bertopi. Merapatkan barisan mereka, memasang kuda-kuda dengan membentuk pagar manusia sambil menunggu perintah dari seseorang yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka.
Keduanya, sama-sama memperjuangkan kebenaran yang masing-masing mereka yakini. Mengapa kebenaran tidak bisa sinergi?

*

Jarak sudah terlampau dekat. Si kerempeng menghentikan langkahnya. Berteriak:
“Izinkan saya bertemu dengan anggota dewan di dalam! Kami ingin membuat beberapa kesepakatan!”

Suasana membisu, kelompok seragam cokelat-cokelat semakin mempererat barisan.

“Bapak-bapak yang budiman, izinkan saya bertemu dengan anggota dewan di dalam! Kami ingin membuat beberapa kesepakatan!”

Masih saja diam.
Melihat ini, pemuda-pemuda yang tidak sabaran mendorong teman yang ada di depannya. Seperti domino, yang depan akhirnya mendorong pemuda kerempeng ke arah bapak-bapak yang budiman. Karena kerempeng, dihempaskan tubuhnya kembali oleh perisai-perisai kaca. Domba-domba marah. Juru selamat mereka telah didzalimi. Serentak dari belakang mendorong sesama temannya ke depan. Kericuhan tumpah. Saling dorong terjadi. Domba-domba geram, diambilnya apa saja yang ada disekitar situ. Kerikil tajam maupun tumpul, bangku-bangku taman, botol, kalau perlu sepatu mereka sendiri, mereka lemparkan ke kelompok bapak-bapak yang sudah tidak budiman. Si kerempeng terjepit diantaranya.

“Hentikan saudara-saudara! Jangan bertindak anarkis!” “Hentikan!!”

Suara si kerempeng tenggelam di tengah riuhnya domba-domba yang murka. Memang, kalau marah, tidak ada lagi yang bisa didengar.

“Pukul mundur!”

Dari belakang pagar perisai terdengar suara lantang. Mungkin ini yang disebut sebagai komando, karena setelahnya bapak-bapak budiman mengangkat pentungannya. Menyabetkan secara membabi-buta ke orang-orang di depannya.

“Plak!” “Plok!”

“Bletak!”

Bapak-bapak yang sudah jadi biadab tambah maju. Kelompok domba-domba tercerai berai. Ketakutan kena sabet pentungan hitam. Mereka berlarian ketakutan, meninggalkan tubuh-tubuh yang berguguran kesakitan.
Lalu, dimana tokoh kita tadi? Pemuda kerempeng yang berperan sebagai juruselamat.
Dia terkapar, dengan jidat yang bersimbah darah. Amis. Telentang, mata terpejam, merintih. Tapi untung, dia masih bernafas.

**


Sebuah mobil sedan mewah meluncur menembus jalanan Ibukota. Ketika menemui kemacetan, mobil dibelokkan melewati samping kendaraan yang sedang mengantri. Tanpa ragu, mobil terus melaju.
Di persimpangan depan, sebuah mobil berwarna putih bergaris-garis biru terparkir. Mobil sedan terpaksa berhenti. Seorang bapak-bapak berpakaian cokelat-cokelat menghampiri. Berhenti, mengetuk kaca mobil, kemudian memberi hormat.
Kaca mobil dibuka.

- “Selamat pagi, Pak”

- “Bapak telah melanggar lalu lintas melewati bahu jalan”

+ “Maaf, Pak. Saya sedang buru-buru mengantar bos saya yang hendak pergi ke gedung dewan.”
Kaca mobil belakang terbuka. Seorang pria necis berkata.

# “Ada apa ini, Pak?” “Apakah Bapak tidak melihat plat mobil saya?”

- “Saya sudah melihatnya, Pak. Memang plat khusus. Tapi bapak tetap melanggar aturan lalu lintas karena jalanan sedang ramai begini”

# “Sudah, Din. Kasih saja” pria tadi menyuruh sopirnya.

Dikeluarkannya selembar uang biru.
+ “Maaf, Pak. Kami tidak bisa berlama-lama. Ini sebagai kompensasi dari kami”, seraya menyuguhkan uang tadi.

- “Saya sudah lama menjadi pengayom masyarakat, Pak. Berbagai kesatuan telah saya masuki. Saya bekerja hanya untuk bangsa”

# “Pak, saya mengerti. Saya juga sedang bekerja untuk bangsa dan negara. Saya berbuat begini, karena sedang terburu-buru. Sudahlah, terima ini. Ini ikhlas pemberian dari saya”

Pria necis menyodorkan tiga lembaran uang berwarna merah. Kali ini bapak berseragam cokelat-cokelat terdiam. Mengingat dapurnya yang harus mengepul. Menerima pemberian sesekali tak apalah. Toh, ini pemberian ikhlas, pikirnya. Dia mengambil uang itu, dengan memandang pria necis tadi. Matanya tertuju pada luka di dahi pria di depannya. Ingatannya terkuak. Ia mematut-matut orang yang ada di depannya dengan orang-orang yang pernah ditemuinya. Sepertinya tidak asing.

- “Baiklah,Pak. Lain kali mohon jangan diulangi. Terima kasih atas kebaikan Bapak.”
“Maaf, pernahkah kita bertemu?”

Pria necis berpikir. Memang sepertinya iya. Suatu waktu di masa lalunya. Tentang itu..
# “Sama-sama. Waktu terus berputar,Pak. Dan kita harus berpikir rasional”
“Pak, Revolusi telah mati”

Kaca mobil ditutup. Mobil dibelokkan mengambil tempat antara dua mobil yang berjarak. Melewati mobil patroli, kemudian berbelok lagi melewati bahu jalan menembus kemacetan Ibukota.


(diselesaikan hampir berbarengan dengan berhentinya Viva La Vida dari WMP-ku)